Selasa, 30 Desember 2008

The Ending Of Time

Sebentar lagi masyarakat akan merayakan pergantian dua tahun baru, pertama pada tanggal 29 Desember (I Muharam/Asyura) tahun baru Islam 1430 H, I Januari 2009 tahun baru masehi selang dua puluh enam hari lagi, 26 Januari 2009, tahun baru Imlek 2560. menarik untuk di amati secara mendalam tentang peralihan tahun ini. Perubahan tahun dianggap membawa keberuntungan dan kesialan tertentu yang mengakibatkan masyrakat memercayai otoritas paranormal sebagai guide of life-nya, perusahaan dalam skala besar menyusun rencana untuk menggapi target yang lebih tinggi lagi dibanding tahun kemarin dengan berbagai kecemasan yang akut karena keadaan tidak bisa dikontrol sebagaimana pikiran yang sulit dikendalikan, dengan perencanaan setidaknya kekhawatirannya reda. Tidak ketinggalan perusahaan yang dirundung nestapa akibat krisis global mengundang motivator untuk membangkitkan lagi semangatnya, meskipun harus membayar mahal untuk kata-kata yang sebenarnya biasa-biasa saja karena intonasi dan gaya penyampaian meyakinkan mereka terbedaya dan semangat mereka terbakar lagi setelah selang berapa jam ditinggalkan sang motivator loyo dan lunglai kembali.

Sebentar lagi masyarakat akan merayakan pergantian dua tahun baru, pertama pada tanggal 29 Desember (I Muharam/Asyura) tahun baru Islam 1430 H, I Januari 2009 tahun baru masehi selang dua puluh enam hari lagi, 26 Januari 2009, tahun baru Imlek 2560. menarik untuk di amati secara mendalam tentang peralihan tahun ini. Perubahan tahun dianggap membawa keberuntungan dan kesialan tertentu yang mengakibatkan masyrakat memercayai otoritas paranormal sebagai guide of life-nya, perusahaan dalam skala besar menyusun rencana untuk menggapi target yang lebih tinggi lagi dibanding tahun kemarin dengan berbagai kecemasan yang akut karena keadaan tidak bisa dikontrol sebagaimana pikiran yang sulit dikendalikan, dengan perencanaan setidaknya kekhawatirannya reda. Tidak ketinggalan perusahaan yang dirundung nestapa akibat krisis global mengundang motivator untuk membangkitkan lagi semangatnya, meskipun harus membayar mahal untuk kata-kata yang sebenarnya biasa-biasa saja karena intonasi dan gaya penyampaian meyakinkan mereka terbedaya dan semangat mereka terbakar lagi setelah selang berapa jam ditinggalkan sang motivator loyo dan lunglai kembali.

Sebenarnya adakah yang esensi di dalam waktu? Apakah waktu yang melahirkan hari, minggu, bulan dan tahun, sewindu, seabad, dan jangkauan waktu yang tak terukur lainnya ini benar-benar wujud, hadir, dan yang melahirkan permasalahan psikologis kemanusiaan? Mengapa masyarakat modern kita saat ini begitu melekat erat dalam waktu ? bisakah kita semua bebas dari kungkungan waktu yang membelenggu kejiwaan kita yang pada akhirnya menjadi ladang pekerjaan bagi psikolog, analis kejiwaan, ahli nujum, rohaniawan, paranormal, motivator karena kesedihan dan kekalutan kita yang mendalam.

Benarkah keabadian, kekekalan, imortal, melampaui waktu yang dijanjikan oleh kitab dari berbagai agama dan ajaran benar-benar wujud dan bisa kita gapai?

Esensi Waktu

Kebanyakan dari kita memahami waktu hanya waktu yang kronologis, waktu yang berurutan secara rapi, berdenyut dan berdetak, dari jam 00.00-01.00-02.00, dan setrusnya. Kronos diambil dari ceita mitologi Yunani, yakni anak dari dewa Zeus yang sukanya menelan (nguntal) apapun dan tidak pernah puas, terus menerus habis dilahapnya. Dalam mitologi Jawa yaitu Bethara Kala, raksasa yang selalu mencari mangsa selama mangsanya berkesadaran dalam lingkup waktu. Kala berarti Masa atau Waktu. Bila kesadaran kita masih dalam tataran waktu kronologis selama itu pula kita akan terus diburu dan ditelan oleh berbagi bentuk keinginan yang terus menelantarkan kita dan akhirnya kita terperosok dalam lingkaran waktu yang tidak ada habisnya.


Sebenarnya waktu dalam ranah kemanusiaan kita adalah waktu yang psikologis, artinya waktu dalam persepektif jiwa akan mengalami melambat dan berjalan cepat, kalau kejiwaan kita dalam keadaan senang yang mendalam maka waktu berjalan cepat, bila kesedihan dan berbagi bentuk ketaksenangan berkunjung waktu seakan melambat. Waktu psikologis ini dalam bahasa Ki Ageng Suryo Mataram kala sing muler mungkret ,waktu yang timbul dan tenggelam. Waktu yang timbul dan tenggelam diakibatkan adanya jarak antara ide dan tindakan. Waktu berarti bergerak dari ”apa adanya” menuju “apa seharusnya”. Jarak dari apa yang ada (what is) menuju apa yang seharusnya ada (what should is) mengakibatkan waktu. Selama kita berdaya upaya untuk tidak menyadari dan menerima “apa yang ada” untuk meraih apa yang seharusnya ada disitu menimbulkan konflik, kenestapaan, duka lara yang otomatis menghadirkan waktu.

Konflik ini ditimbulkan oleh pikiran (mind), pada waktu ‘apa yang ada’ (masa kini;saat ini) datang kita selalu merespon dengan pikiran yang sudah terakumulasi menjadi ingatan, memori, pengetahuan dan berbagai bentuk endapan emosi. Pikiran selalu usang dan terjadi di masa lampau, untuk menyelamatkan dari kenestapaan dan duka laranya pikiran mengejar masa depan begitulah mekanisme pikiran yang bergerak yang menimbulkan waktu dan menimbulkan kesengsaraan tak berkelanjutan ini.
Dengan demikian waktu adalah sebuah gerak yang telah dibagi-bagi manusia dalam masa lampau, masa kini, dan masa depan, dan selama orang membagi-baginya ia akan selalu hidup dalam konflik.


The Ending Of Time

Dapatkah waktu berakhir? Kita bergerak tanpa waktu? Herman Hesse penulis novel Siddhartha menulis dengan apik dari sudut pandang sang juru sampan yang belajar keabadian dan ketidaan waktu dari aliran sungai yang terus mengalir. Vasudeva, sang juru sampan, mengatakan kepada Siddhartha: ”mungkin kamu bermaksud seperti ini Sidhartha: bahwa sungai ada di mana-mana pada saat yang bersamaan—di sumbernya, dimuara, di air terjun,di penyebrangan sampan, di aliran, di laut, di gunung—di mana-mana pada saat yang bersamaan. Dan oleh karena itu, hanya ada masa sekarang, bukan bayang-bayang yang disebut dengan masa depan. Tidak ada dulu tidak ada yang akan datang, segalanya memiliki keberadaannya dan berada pada masa kini.”

Kekinian dan saat ini adalah masa yang harus di sadari sepenuhnya, pikiran menciptakan dualitas yang ujung-ujungnya duka nestapa. Dalam bahasa pali, Dukkha, berarti dualitas, penderitaan yang diakibatkan pembagian dalam dua sisi: masa lalu dan masa depan, tidak pernah menyadari saat ini, detik ini. Bukankah segala sesuatu yang berat dan kejam dalam dunia ini diatasi dan berlalu dengan segera saat seorang mengatasi waktu, dan telah mampu mengabaikan diri sendiri dari gagasan tentang waktu?

Timeless dalam bahasa Ingris berarti tanpa-waktu atau bisa disebut dengan keabadiaan, mungkin keabadian akan mewujud bila kita sanggup secara sadar bergerak tanpa-waktu yang melihat segala sesuatunya nirkala yang setiap hari batin kita selalu segar, baru, mengalami peremajaan tiap hari. Setiap saat setiap detik mengalami waktu yang baru yang tak berjangka dan tak berjarak, karena ia adalah bagian dari waktu itu yang mengalir bersama aliran semesta. Deskripsi ini bukan mendayu-dayu kesastraan, bukan bahasa sastrawi, tetapi pengalaman yang nyata. Meskipun sulit untuk dideskripsikan pengalaman ini, tetapi setidaknya bisa mewakili karena deskripsi bukan benda yang dideskripsikan.

Perayaan tahun baru tanpa esensi waktu yang mendasari gerak langkah kehidupan, perayaan berlansung secara dangkal dan seremonial belaka. Hari, bulan, tahun beralu bergerak menuju baru, tetapi batin selalu purba yang berupa fosil memori, situs duka nestapa, dan prasasti-prasasti kebencian dan dendam. Tahun baru dengan menyadari kekinian kita, kebaruan kita dalam setiap gerak tanpa waktu, di sini tercipta mutasi dan transformasi diri. Dengan tahun baru ini kita juga merayakan juga jiwa yang baru, jiwa yang mengalami kelahiran kembali. Selamat merayakan tahun baru dengan jiwa yang baru.





Selengkapnya...