Sabtu, 13 Desember 2008

Kurban dan Pemuasan Ego

Hari raya kurban telah diperingati oleh seluruh umat Islam di dunia. Dengan meningkatnya perekonomian umat Islam bertambah pula intensitas masyarakat yang ikut berperan serta dalam hari raya kurban ini dengan menyetorkan hewan kurban ke Masjid, Musolla, dan penyelenggara kurban lainnya dengan harapan binatang-binatang yang dijadikan kurban akan bisa dinaikinya nanti di hari akhir selayakanya mobil pribadi yang mereka miliki saat ini. Pemahaman yang dimilki umat Islam saat ini belum bergeser sedikitpun dari pemahaman mereka waktu duduk dibangku sekolah dasar: pemahaman akan beragama, penghayatan akan ritual di balik anjuran agama, penilaian terhadap tatanilai agama, dll. Seharusnya pemahaman dan penghayatan akan bertuhan dan beragama mengalami evolusi menuju kesempurnaan secara bertahap seiring bertambahnya usia.


Hari raya kurban telah diperingati oleh seluruh umat Islam di dunia. Dengan meningkatnya perekonomian umat Islam bertambah pula intensitas masyarakat yang ikut berperan serta dalam hari raya kurban ini dengan menyetorkan hewan kurban ke Masjid, Musolla, dan penyelenggara kurban lainnya dengan harapan binatang-binatang yang dijadikan kurban akan bisa dinaikinya nanti di hari akhir selayakanya mobil pribadi yang mereka miliki saat ini. Pemahaman yang dimilki umat Islam saat ini belum bergeser sedikitpun dari pemahaman mereka waktu duduk dibangku sekolah dasar: pemahaman akan beragama, penghayatan akan ritual di balik anjuran agama, penilaian terhadap tatanilai agama, dll. Seharusnya pemahaman dan penghayatan akan bertuhan dan beragama mengalami evolusi menuju kesempurnaan secara bertahap seiring bertambahnya usia.


Ritual kurban tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan Nabiyullah Ibrahim alahisaalam dalam proses pencariannya menuju pencerahan dengan melalui tahapan-tahapan evolusi batin yang diprasastikan dalam Alquran yang akhirnya dicontoh dan dipahami secara membabibuta oleh masyarakat Islam, tanpa ada sedikitpun upaya untuk memahami dan menafsirkan dengan kejernihan serta kesederhanaan batin.

Ajaran Islam hanya melulu dipahami secara ritual, atas dasar kewajiban, atas dasar larangan, tanpa pemahaman yang menyeluruh yang dintegrasikan dalam praktik kehidupan sehari-hari. Apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim adalah upaya menuju ketundukan diri dan berserah diri yang akhirnya membawa pemahaman keislaman yang paripurna. Islam yang membawa kesejukan, kedamaian, kesempurnaan, kelembutan yang terwujud dalam sikap batin dalam setiap pemeluknya.Nabi Ibrahim adalalah pribadi yang tidak mau mengikuti otaritas tradisi yang membelenggunya melalui ajaran agama nenek moyangnya, beliau mencari Yang Agung Sang Keberdaan sumber pelita yang menyinari kehidupan yang tersembunyi dibalik ajaran nenak moyangnya.Nabi Ibrahim adalah The Great Seeker yang melahirkan umat-umat yang tercerahkan.

Ritual kurban yang diperingati umat Islam setiap tahun berasal dari ajaran beliau yang dinarasikan dalam Quran surat Ass shafat ayat 100-111 yang menceritakan keinginanan nabi Ibarahim untuk memilki anak yang saleh, maka Allah mengabulkanya dengan dikarunia Anak laki-laki yang diberi nama Ismail. Pada saat Ismail tumbuh besar dengan segala sifat kepolosanya, Nabi Ibrahim bermimpi untuk menyembelih Ismail, lalu dengan Ikhlas dan sabar Ismail menerima mimpi dengan rela untuk disebelih, dan karena keikhlasan keduanya Allah menebus atau menggantinya dengan hewan sembelihan. Akhirya tradisi korban berkembang hingga saat ini sebagai peringatan keikhlasan ayah dan anak untuk mengabdi sepenuhnya kepada Allah tanpa ada sedikitpun kemelekatan yang bersifat emosional.

Cerita ini penuh metafor, kiasan, dan simbol yang mempunyai jalinan maknanya. Bila diterima mentah-mentah ayat ini sebagaimana yang umum dipahami umat Islam saat ini, maka timbul pertanyaan, apa ya mungkin Allah yang segala sifat welas asihnya menyuruh menyembelih Ismail?
Dalam proses pencarian Nabi Ibrahim untuk memperoleh pencerahan dan akhirnya beliau berumah tangga dan memilki putra, yang mengakibatkan rasa kemelekatan terhadap anak begitu kental, rasa kepemilkian terhadap anak yang melekat begitu kuat, memiliki ego terhadap anak sehingga akan berdampak buruk terhadap perkembangan spiritualnya yakni melupakan tugas utamanya, maka melalui mimpi, hati sanubarinya memproyeksikan untuk mengingatkan Nabi Ibrahim yang di bahasakan dalam Quran dengan ’penyembelihan’ agar tidak terlalu kumantil melekat terhadap anak, melekat terhadap ego pribadi.

Proses beragama seseorang seringkali menciptakan rintangan-rintangan baru yang tersembunyi dan yang selalu diatas namakan agama, demi anjuran tuhan, demi larangan agama sesungguhnya itu adalah proyeksi ego kita yang sangat halus yang bersembunyi dibalik tiak-tiak kesucian
Hari Raya kurban memberi pelajaran kepada umat Islam untuk menghilangkan ego, rasa kepemilikan, kemelekatan dalam bentuk apapun karena akan menghalanginya untuk menuju keislaman yang paripurna. Dengan hari raya korban kita menyembelih ego pribadi kita yang seringkali menghalangi realisasi Allah terhijab oleh ego. Ketika ego pribadi kita sembelih, disitu akan tampak realisasi Allah., inilah makna spiritual hari raya korban. Ego pribadi yang melekat akan menimbulkan sifat kebinatangan yang ada dalam diri setiap individu, maka di dalam Al-quran di simbolkan dengan binatang sembelihan.

Ego pribadi yang berwujud kepemilikan emosional terhadap anak, istri, harta akan memerosokkan setiap individu dalam duka nestapa yang pada akhrnya menumbuhakan sifat kebinatangan yang bengis, kejam, menghalalkan segala cara demi kepuasan ego yang seringkali di atas namakan hal-hal yang suci dan luhur. Saat ini adalah masa dimana ego memimpin dalam tatanan masyrakat kita dari bidang ekonomi, sosial, lebih-lebih politik dan keagamaan semuanya sudah terkontaminasi virus yang harus dengan segera dibasmi dan disembelih ini dengan semangat yang bernyala dari hari raya kurban yang dipelopori oleh nabi Ibrahim.

Banyak umat Islam berbondong-bondong membawa hewan korban dengan kecongkakan dengan berkorban ego mereka terpuaskan, ego mendominasi disetiap sendi-sendi tubuhnya yang menghalangi sinar ilahiah. Mereka dengan bangganya menyerahkan sapi mupun kambing dengan harapan besar bahwa bintang-binatang itu akan mereka tunggangi di hari akhir, kita seringkali bertransaksi dengan Allah, kita masih menggunkan logika dagang dengan Allah, tidak ada pengabdian sedikitpun , tidak ada ketundukan total, sujud dalam sholat lima waktu tidak sedikitpun bisa mengikis kecongkakan kita, hanya sekedar ritual yang mekanis.

Belum lagi dengan berkorban kita akan dijuluki sang dermawan dalam masyrakat karena banyak rakyat miskin yang akan menikmati daging kurban. Kita lupa bahwa Allah dengan tegas mengatakan dalam surat Al-Haj ayat 37 :Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
Mudah-mudahan dengan hari raya korban ini kita bisa menyembelih ego kita. Semoga.


Selengkapnya...

Unsensuous of sex

Hari ini ruang publik kita banyak diisi dengan ekspresi seksual yang tak terbendung lagi dari pakain remaja putri yang suka menggunakan rok mini, kaos ketat (tanktop), atau menggunakan celana yang menggambarkan lekuk tubuhnya yang sintal maupun yang semok, tatanan rambut yang melukiskan kebanalan seks, tak ketinggalan remaja putra memakai pakaian yang ada belahan didadanya atau membuka salah satu kancing bajunya untuk menunjukkan bulu dadanya terhadap kaum hawa. Seks menjadi daya tarik sendiri dalam ruang publik kita, seakan mensyiratkan perang daya tarik menarik melalui energi seks. Belum lagi banyak pasangan menunjukkan kemesraannya diruang publik entah dalam mall, ditaman umum, tak canggung lagi melakukan aktivitas seksual di kendaraan pribadi: baik roda dua dengan mengekpresikan penonjolan pantat pada waktu dibonceng, lebih-lebih roda empat tidak ada risih sedikitpun melakukakanya seakan-akan dalam kamar sendiri.


Hari ini ruang publik kita banyak diisi dengan ekspresi seksual yang tak terbendung lagi dari pakain remaja putri yang suka menggunakan rok mini, kaos ketat (tanktop), atau menggunakan celana yang menggambarkan lekuk tubuhnya yang sintal maupun yang semok, tatanan rambut yang melukiskan kebanalan seks, tak ketinggalan remaja putra memakai pakaian yang ada belahan didadanya atau membuka salah satu kancing bajunya untuk menunjukkan bulu dadanya terhadap kaum hawa. Seks menjadi daya tarik sendiri dalam ruang publik kita, seakan mensyiratkan perang daya tarik menarik melalui energi seks. Belum lagi banyak pasangan menunjukkan kemesraannya diruang publik entah dalam mall, ditaman umum, tak canggung lagi melakukan aktivitas seksual di kendaraan pribadi: baik roda dua dengan mengekpresikan penonjolan pantat pada waktu dibonceng, lebih-lebih roda empat tidak ada risih sedikitpun melakukakanya seakan-akan dalam kamar sendiri.

Alasan inilah yang mungkin digunakan oleh kaum agamawan yang terorganisir dalam lembaga-lembaga keagamaan untuk membuat regulasi melalui UU APP karena telah mengganggu kesalehannya dan keimanannya serta merusak sinyal hubungan dengan tuhannya, yang memaksa mereka bolak balik mengulang nama tuhannya manakala melihat keseronokan karena degup jantung yang berpacu keras yang tergoda kebirahian akhirnya mereka menggunakan otoritas dan dalil untuk merepresi ekpresi seksual tersebut, apakah ini jalan kebijaksanaan? Mengapa ekpresi seksual menjadi fenomena yang tak terbendung dalam masyarakat kita?

Selama energi seks ditekan melalui bentuk apapun akan dialihkan dalam bentuk yang lebih berbahaya karena setiap energi butuh jalan keluanya yang hanya bisa ditranformasikan atau dilampaui dengan menyadari keberadaannya. Para agamawan tidak pernah memberi jalan keluar yang bijak malah menambah keruh masalah, pikirnya dengan pembatasan atau represitas demi moral yang agung akan membuat ekpresi seksual semakin surut. Ekpresi seksual akan terus mencari jalan keluar selama represi maupun penekanan yang halus (sublimasi) sebagai jalan yang ditempuh. Setiap bentuk represi akan melahirkan ekpresi.

Seks dan ruang publik

Ekpresi seksual di ruang publik menandakan satu dari kenikmatan yang diperoleh melalui seks tidak bisa memuaskan mereka lagi, akhirnya mereka membawa ketaknikmatan sensasi seksual dari ruang privat menuju ruang publik, dengan membawa ekpresi seksual diruang publik mereka mendapat sensasi kenikmatan yang tidak diperoleh dalam ruang privatnya. Membawa sensasi tersendiri karena pasti akan direspon oleh khalayak baik yang pro maupun kontra. Titik pusat masyarakat kita sekarang berada diluar, tidak berada di dalam setiap individu. Remote control di pegang oleh sistem sosial dan tradisi yang bodoh dan konyol ini.


Seharusnya masalah seks tidak ada kaitannya sama sekali dalam kepublikan, seks hanya fakta biologis yang bersifat netral. Tidak perlu ditempeli predikat hukum dalam dirinya antara yang lebih suci maupun tidak suci, tatanilai masyarakatlah yang membuat keruh masalah ini. Dalam kesejarahan seks tidak pernah menjadi komoditas publik, tetapi dalam kesejarahanya seks dijadikan batu loncatan untuk menggapai Yang Tertinggi atau Yang Agung melalui jalur energi seks, seks menjadi sesuatu yang sakral, hal ini bisa dilihat dalam relief bangunan yang berada dalam candi sukuh, prasasti-prasasti yang melambangkan lingga dan yoni seperti monas, misalnya, hal ini menandakan seks adalah sesuatu yang sakral yang patut diprasastasikan karena melalui itu Sang Keberadaan menujukkan manifestasiNYA. Hal inilah alasan mengapa seks harus dilakukan setelah nikah, karena dengan pensakralan seks akan mencapai kenikmatan puncaknya, tradisi-tradisi kuno yang tertuang dalam kamasutra ingin menjadikan seks sebagai sarana meditasi yang banyak di salah artikan oleh masyrakat saat ini.

Masyarakat modern sudah kehilangan kesakralan seks, sehingga mereka tidak pernah mencapai kenikmatan sedikitpun, seks menjadi mekanis layaknya makan dan minum yang tidak membawa transformasi batin sedikitpun. Tidak heran kalau jaman Vatsasyan, seksolog pertama kali didunia dan penulis kamasutra, orang hanya setahun sekali dalam berhubungan badan atau senggama karena kenikmatan seks masih terasa mengisi tulangsumsumnya, energi seks mengisi relung-relung spiritnya, ada semacam energi peremajaan yang membawa kesyahduan yang tak terdefinisikan, semacam ekstase. inilah perilaku seks yang benar. Masyarakat sekarang berkali-kali berhubungan tetapi tidak sedikitpun mencapai puncak kenikmatan.Malah terus mencari-cari rangsangan melalui ekpresi seksualnya karena mereka tidak pernah merasa puas dalam senggamanya.

Seks dan Kematian
Mahaguru spiritual Osho dalam bukunya Pskologi Alam Gaib yang berjudul asli psychology of the esoteric yang diterjemahkan pertamakali dalam bahasa Indonesia oleh guru besar kedokteran unpad, Soedjatmo soemowerdojo, mengatakan: tidak ada tindakan yang sedalam tindakan seks. Bila anda dapat tetap sadar selama melakukan seks, maka nanti waktu menghadapi mautpun anda akan sadar. Kedalaman tindakan seks dan kedalaman maut adalah sama, sejajar. Anda akan sampai di titik yang sama. Jadi bila anda tetap sadar di waktu melakukan seks, anda telah mencapai sesuatu yang besar. Itu tidak ternilai harganya.

Seks yang benar akan bisa menjadi sarana meditasi, alasan ini juga yang ditempuh oleh para suci dalam berbagai agama dan tradisi untuk memilih jalan membujang (selibat) karena melalui meditasinya mereka bisa bersenggama di alam nirvana yang tidak membutuhkan objek lawan jenis, titik puncak kenikmatan meditasi sama dengan orgasme yang sama-sama memberi efek kenikmatan. Meledaknya sang diri dalam meditasi seperti meledaknya kenikmatan yang tak terhingga dalam hubungan seks.

Hendaknya seks tidak dijadikan tujuan yang berlebih hanya sebuah sekedar sarana untuk menuju Yang Tertinggi, hanya dengan memberi pemahaman akan seks yang benar, dengan melampaui seks, ruang publik kita akan sepi dari ekpresi seksual karena setiap individu sudah mencapai titik kenikmatannya masing-masing. Hanya dengan melampaui dan menyadari energi seks ’masyarakat lemah syahwat’ ini akan berakhir.Selamat meniti menuju puncak tertinggi.




Selengkapnya...