Selasa, 30 Desember 2008

The Ending Of Time

Sebentar lagi masyarakat akan merayakan pergantian dua tahun baru, pertama pada tanggal 29 Desember (I Muharam/Asyura) tahun baru Islam 1430 H, I Januari 2009 tahun baru masehi selang dua puluh enam hari lagi, 26 Januari 2009, tahun baru Imlek 2560. menarik untuk di amati secara mendalam tentang peralihan tahun ini. Perubahan tahun dianggap membawa keberuntungan dan kesialan tertentu yang mengakibatkan masyrakat memercayai otoritas paranormal sebagai guide of life-nya, perusahaan dalam skala besar menyusun rencana untuk menggapi target yang lebih tinggi lagi dibanding tahun kemarin dengan berbagai kecemasan yang akut karena keadaan tidak bisa dikontrol sebagaimana pikiran yang sulit dikendalikan, dengan perencanaan setidaknya kekhawatirannya reda. Tidak ketinggalan perusahaan yang dirundung nestapa akibat krisis global mengundang motivator untuk membangkitkan lagi semangatnya, meskipun harus membayar mahal untuk kata-kata yang sebenarnya biasa-biasa saja karena intonasi dan gaya penyampaian meyakinkan mereka terbedaya dan semangat mereka terbakar lagi setelah selang berapa jam ditinggalkan sang motivator loyo dan lunglai kembali.

Sebentar lagi masyarakat akan merayakan pergantian dua tahun baru, pertama pada tanggal 29 Desember (I Muharam/Asyura) tahun baru Islam 1430 H, I Januari 2009 tahun baru masehi selang dua puluh enam hari lagi, 26 Januari 2009, tahun baru Imlek 2560. menarik untuk di amati secara mendalam tentang peralihan tahun ini. Perubahan tahun dianggap membawa keberuntungan dan kesialan tertentu yang mengakibatkan masyrakat memercayai otoritas paranormal sebagai guide of life-nya, perusahaan dalam skala besar menyusun rencana untuk menggapi target yang lebih tinggi lagi dibanding tahun kemarin dengan berbagai kecemasan yang akut karena keadaan tidak bisa dikontrol sebagaimana pikiran yang sulit dikendalikan, dengan perencanaan setidaknya kekhawatirannya reda. Tidak ketinggalan perusahaan yang dirundung nestapa akibat krisis global mengundang motivator untuk membangkitkan lagi semangatnya, meskipun harus membayar mahal untuk kata-kata yang sebenarnya biasa-biasa saja karena intonasi dan gaya penyampaian meyakinkan mereka terbedaya dan semangat mereka terbakar lagi setelah selang berapa jam ditinggalkan sang motivator loyo dan lunglai kembali.

Sebenarnya adakah yang esensi di dalam waktu? Apakah waktu yang melahirkan hari, minggu, bulan dan tahun, sewindu, seabad, dan jangkauan waktu yang tak terukur lainnya ini benar-benar wujud, hadir, dan yang melahirkan permasalahan psikologis kemanusiaan? Mengapa masyarakat modern kita saat ini begitu melekat erat dalam waktu ? bisakah kita semua bebas dari kungkungan waktu yang membelenggu kejiwaan kita yang pada akhirnya menjadi ladang pekerjaan bagi psikolog, analis kejiwaan, ahli nujum, rohaniawan, paranormal, motivator karena kesedihan dan kekalutan kita yang mendalam.

Benarkah keabadian, kekekalan, imortal, melampaui waktu yang dijanjikan oleh kitab dari berbagai agama dan ajaran benar-benar wujud dan bisa kita gapai?

Esensi Waktu

Kebanyakan dari kita memahami waktu hanya waktu yang kronologis, waktu yang berurutan secara rapi, berdenyut dan berdetak, dari jam 00.00-01.00-02.00, dan setrusnya. Kronos diambil dari ceita mitologi Yunani, yakni anak dari dewa Zeus yang sukanya menelan (nguntal) apapun dan tidak pernah puas, terus menerus habis dilahapnya. Dalam mitologi Jawa yaitu Bethara Kala, raksasa yang selalu mencari mangsa selama mangsanya berkesadaran dalam lingkup waktu. Kala berarti Masa atau Waktu. Bila kesadaran kita masih dalam tataran waktu kronologis selama itu pula kita akan terus diburu dan ditelan oleh berbagi bentuk keinginan yang terus menelantarkan kita dan akhirnya kita terperosok dalam lingkaran waktu yang tidak ada habisnya.


Sebenarnya waktu dalam ranah kemanusiaan kita adalah waktu yang psikologis, artinya waktu dalam persepektif jiwa akan mengalami melambat dan berjalan cepat, kalau kejiwaan kita dalam keadaan senang yang mendalam maka waktu berjalan cepat, bila kesedihan dan berbagi bentuk ketaksenangan berkunjung waktu seakan melambat. Waktu psikologis ini dalam bahasa Ki Ageng Suryo Mataram kala sing muler mungkret ,waktu yang timbul dan tenggelam. Waktu yang timbul dan tenggelam diakibatkan adanya jarak antara ide dan tindakan. Waktu berarti bergerak dari ”apa adanya” menuju “apa seharusnya”. Jarak dari apa yang ada (what is) menuju apa yang seharusnya ada (what should is) mengakibatkan waktu. Selama kita berdaya upaya untuk tidak menyadari dan menerima “apa yang ada” untuk meraih apa yang seharusnya ada disitu menimbulkan konflik, kenestapaan, duka lara yang otomatis menghadirkan waktu.

Konflik ini ditimbulkan oleh pikiran (mind), pada waktu ‘apa yang ada’ (masa kini;saat ini) datang kita selalu merespon dengan pikiran yang sudah terakumulasi menjadi ingatan, memori, pengetahuan dan berbagai bentuk endapan emosi. Pikiran selalu usang dan terjadi di masa lampau, untuk menyelamatkan dari kenestapaan dan duka laranya pikiran mengejar masa depan begitulah mekanisme pikiran yang bergerak yang menimbulkan waktu dan menimbulkan kesengsaraan tak berkelanjutan ini.
Dengan demikian waktu adalah sebuah gerak yang telah dibagi-bagi manusia dalam masa lampau, masa kini, dan masa depan, dan selama orang membagi-baginya ia akan selalu hidup dalam konflik.


The Ending Of Time

Dapatkah waktu berakhir? Kita bergerak tanpa waktu? Herman Hesse penulis novel Siddhartha menulis dengan apik dari sudut pandang sang juru sampan yang belajar keabadian dan ketidaan waktu dari aliran sungai yang terus mengalir. Vasudeva, sang juru sampan, mengatakan kepada Siddhartha: ”mungkin kamu bermaksud seperti ini Sidhartha: bahwa sungai ada di mana-mana pada saat yang bersamaan—di sumbernya, dimuara, di air terjun,di penyebrangan sampan, di aliran, di laut, di gunung—di mana-mana pada saat yang bersamaan. Dan oleh karena itu, hanya ada masa sekarang, bukan bayang-bayang yang disebut dengan masa depan. Tidak ada dulu tidak ada yang akan datang, segalanya memiliki keberadaannya dan berada pada masa kini.”

Kekinian dan saat ini adalah masa yang harus di sadari sepenuhnya, pikiran menciptakan dualitas yang ujung-ujungnya duka nestapa. Dalam bahasa pali, Dukkha, berarti dualitas, penderitaan yang diakibatkan pembagian dalam dua sisi: masa lalu dan masa depan, tidak pernah menyadari saat ini, detik ini. Bukankah segala sesuatu yang berat dan kejam dalam dunia ini diatasi dan berlalu dengan segera saat seorang mengatasi waktu, dan telah mampu mengabaikan diri sendiri dari gagasan tentang waktu?

Timeless dalam bahasa Ingris berarti tanpa-waktu atau bisa disebut dengan keabadiaan, mungkin keabadian akan mewujud bila kita sanggup secara sadar bergerak tanpa-waktu yang melihat segala sesuatunya nirkala yang setiap hari batin kita selalu segar, baru, mengalami peremajaan tiap hari. Setiap saat setiap detik mengalami waktu yang baru yang tak berjangka dan tak berjarak, karena ia adalah bagian dari waktu itu yang mengalir bersama aliran semesta. Deskripsi ini bukan mendayu-dayu kesastraan, bukan bahasa sastrawi, tetapi pengalaman yang nyata. Meskipun sulit untuk dideskripsikan pengalaman ini, tetapi setidaknya bisa mewakili karena deskripsi bukan benda yang dideskripsikan.

Perayaan tahun baru tanpa esensi waktu yang mendasari gerak langkah kehidupan, perayaan berlansung secara dangkal dan seremonial belaka. Hari, bulan, tahun beralu bergerak menuju baru, tetapi batin selalu purba yang berupa fosil memori, situs duka nestapa, dan prasasti-prasasti kebencian dan dendam. Tahun baru dengan menyadari kekinian kita, kebaruan kita dalam setiap gerak tanpa waktu, di sini tercipta mutasi dan transformasi diri. Dengan tahun baru ini kita juga merayakan juga jiwa yang baru, jiwa yang mengalami kelahiran kembali. Selamat merayakan tahun baru dengan jiwa yang baru.





Selengkapnya...

Sabtu, 13 Desember 2008

Kurban dan Pemuasan Ego

Hari raya kurban telah diperingati oleh seluruh umat Islam di dunia. Dengan meningkatnya perekonomian umat Islam bertambah pula intensitas masyarakat yang ikut berperan serta dalam hari raya kurban ini dengan menyetorkan hewan kurban ke Masjid, Musolla, dan penyelenggara kurban lainnya dengan harapan binatang-binatang yang dijadikan kurban akan bisa dinaikinya nanti di hari akhir selayakanya mobil pribadi yang mereka miliki saat ini. Pemahaman yang dimilki umat Islam saat ini belum bergeser sedikitpun dari pemahaman mereka waktu duduk dibangku sekolah dasar: pemahaman akan beragama, penghayatan akan ritual di balik anjuran agama, penilaian terhadap tatanilai agama, dll. Seharusnya pemahaman dan penghayatan akan bertuhan dan beragama mengalami evolusi menuju kesempurnaan secara bertahap seiring bertambahnya usia.


Hari raya kurban telah diperingati oleh seluruh umat Islam di dunia. Dengan meningkatnya perekonomian umat Islam bertambah pula intensitas masyarakat yang ikut berperan serta dalam hari raya kurban ini dengan menyetorkan hewan kurban ke Masjid, Musolla, dan penyelenggara kurban lainnya dengan harapan binatang-binatang yang dijadikan kurban akan bisa dinaikinya nanti di hari akhir selayakanya mobil pribadi yang mereka miliki saat ini. Pemahaman yang dimilki umat Islam saat ini belum bergeser sedikitpun dari pemahaman mereka waktu duduk dibangku sekolah dasar: pemahaman akan beragama, penghayatan akan ritual di balik anjuran agama, penilaian terhadap tatanilai agama, dll. Seharusnya pemahaman dan penghayatan akan bertuhan dan beragama mengalami evolusi menuju kesempurnaan secara bertahap seiring bertambahnya usia.


Ritual kurban tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan Nabiyullah Ibrahim alahisaalam dalam proses pencariannya menuju pencerahan dengan melalui tahapan-tahapan evolusi batin yang diprasastikan dalam Alquran yang akhirnya dicontoh dan dipahami secara membabibuta oleh masyarakat Islam, tanpa ada sedikitpun upaya untuk memahami dan menafsirkan dengan kejernihan serta kesederhanaan batin.

Ajaran Islam hanya melulu dipahami secara ritual, atas dasar kewajiban, atas dasar larangan, tanpa pemahaman yang menyeluruh yang dintegrasikan dalam praktik kehidupan sehari-hari. Apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim adalah upaya menuju ketundukan diri dan berserah diri yang akhirnya membawa pemahaman keislaman yang paripurna. Islam yang membawa kesejukan, kedamaian, kesempurnaan, kelembutan yang terwujud dalam sikap batin dalam setiap pemeluknya.Nabi Ibrahim adalalah pribadi yang tidak mau mengikuti otaritas tradisi yang membelenggunya melalui ajaran agama nenek moyangnya, beliau mencari Yang Agung Sang Keberdaan sumber pelita yang menyinari kehidupan yang tersembunyi dibalik ajaran nenak moyangnya.Nabi Ibrahim adalah The Great Seeker yang melahirkan umat-umat yang tercerahkan.

Ritual kurban yang diperingati umat Islam setiap tahun berasal dari ajaran beliau yang dinarasikan dalam Quran surat Ass shafat ayat 100-111 yang menceritakan keinginanan nabi Ibarahim untuk memilki anak yang saleh, maka Allah mengabulkanya dengan dikarunia Anak laki-laki yang diberi nama Ismail. Pada saat Ismail tumbuh besar dengan segala sifat kepolosanya, Nabi Ibrahim bermimpi untuk menyembelih Ismail, lalu dengan Ikhlas dan sabar Ismail menerima mimpi dengan rela untuk disebelih, dan karena keikhlasan keduanya Allah menebus atau menggantinya dengan hewan sembelihan. Akhirya tradisi korban berkembang hingga saat ini sebagai peringatan keikhlasan ayah dan anak untuk mengabdi sepenuhnya kepada Allah tanpa ada sedikitpun kemelekatan yang bersifat emosional.

Cerita ini penuh metafor, kiasan, dan simbol yang mempunyai jalinan maknanya. Bila diterima mentah-mentah ayat ini sebagaimana yang umum dipahami umat Islam saat ini, maka timbul pertanyaan, apa ya mungkin Allah yang segala sifat welas asihnya menyuruh menyembelih Ismail?
Dalam proses pencarian Nabi Ibrahim untuk memperoleh pencerahan dan akhirnya beliau berumah tangga dan memilki putra, yang mengakibatkan rasa kemelekatan terhadap anak begitu kental, rasa kepemilkian terhadap anak yang melekat begitu kuat, memiliki ego terhadap anak sehingga akan berdampak buruk terhadap perkembangan spiritualnya yakni melupakan tugas utamanya, maka melalui mimpi, hati sanubarinya memproyeksikan untuk mengingatkan Nabi Ibrahim yang di bahasakan dalam Quran dengan ’penyembelihan’ agar tidak terlalu kumantil melekat terhadap anak, melekat terhadap ego pribadi.

Proses beragama seseorang seringkali menciptakan rintangan-rintangan baru yang tersembunyi dan yang selalu diatas namakan agama, demi anjuran tuhan, demi larangan agama sesungguhnya itu adalah proyeksi ego kita yang sangat halus yang bersembunyi dibalik tiak-tiak kesucian
Hari Raya kurban memberi pelajaran kepada umat Islam untuk menghilangkan ego, rasa kepemilikan, kemelekatan dalam bentuk apapun karena akan menghalanginya untuk menuju keislaman yang paripurna. Dengan hari raya korban kita menyembelih ego pribadi kita yang seringkali menghalangi realisasi Allah terhijab oleh ego. Ketika ego pribadi kita sembelih, disitu akan tampak realisasi Allah., inilah makna spiritual hari raya korban. Ego pribadi yang melekat akan menimbulkan sifat kebinatangan yang ada dalam diri setiap individu, maka di dalam Al-quran di simbolkan dengan binatang sembelihan.

Ego pribadi yang berwujud kepemilikan emosional terhadap anak, istri, harta akan memerosokkan setiap individu dalam duka nestapa yang pada akhrnya menumbuhakan sifat kebinatangan yang bengis, kejam, menghalalkan segala cara demi kepuasan ego yang seringkali di atas namakan hal-hal yang suci dan luhur. Saat ini adalah masa dimana ego memimpin dalam tatanan masyrakat kita dari bidang ekonomi, sosial, lebih-lebih politik dan keagamaan semuanya sudah terkontaminasi virus yang harus dengan segera dibasmi dan disembelih ini dengan semangat yang bernyala dari hari raya kurban yang dipelopori oleh nabi Ibrahim.

Banyak umat Islam berbondong-bondong membawa hewan korban dengan kecongkakan dengan berkorban ego mereka terpuaskan, ego mendominasi disetiap sendi-sendi tubuhnya yang menghalangi sinar ilahiah. Mereka dengan bangganya menyerahkan sapi mupun kambing dengan harapan besar bahwa bintang-binatang itu akan mereka tunggangi di hari akhir, kita seringkali bertransaksi dengan Allah, kita masih menggunkan logika dagang dengan Allah, tidak ada pengabdian sedikitpun , tidak ada ketundukan total, sujud dalam sholat lima waktu tidak sedikitpun bisa mengikis kecongkakan kita, hanya sekedar ritual yang mekanis.

Belum lagi dengan berkorban kita akan dijuluki sang dermawan dalam masyrakat karena banyak rakyat miskin yang akan menikmati daging kurban. Kita lupa bahwa Allah dengan tegas mengatakan dalam surat Al-Haj ayat 37 :Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
Mudah-mudahan dengan hari raya korban ini kita bisa menyembelih ego kita. Semoga.


Selengkapnya...

Unsensuous of sex

Hari ini ruang publik kita banyak diisi dengan ekspresi seksual yang tak terbendung lagi dari pakain remaja putri yang suka menggunakan rok mini, kaos ketat (tanktop), atau menggunakan celana yang menggambarkan lekuk tubuhnya yang sintal maupun yang semok, tatanan rambut yang melukiskan kebanalan seks, tak ketinggalan remaja putra memakai pakaian yang ada belahan didadanya atau membuka salah satu kancing bajunya untuk menunjukkan bulu dadanya terhadap kaum hawa. Seks menjadi daya tarik sendiri dalam ruang publik kita, seakan mensyiratkan perang daya tarik menarik melalui energi seks. Belum lagi banyak pasangan menunjukkan kemesraannya diruang publik entah dalam mall, ditaman umum, tak canggung lagi melakukan aktivitas seksual di kendaraan pribadi: baik roda dua dengan mengekpresikan penonjolan pantat pada waktu dibonceng, lebih-lebih roda empat tidak ada risih sedikitpun melakukakanya seakan-akan dalam kamar sendiri.


Hari ini ruang publik kita banyak diisi dengan ekspresi seksual yang tak terbendung lagi dari pakain remaja putri yang suka menggunakan rok mini, kaos ketat (tanktop), atau menggunakan celana yang menggambarkan lekuk tubuhnya yang sintal maupun yang semok, tatanan rambut yang melukiskan kebanalan seks, tak ketinggalan remaja putra memakai pakaian yang ada belahan didadanya atau membuka salah satu kancing bajunya untuk menunjukkan bulu dadanya terhadap kaum hawa. Seks menjadi daya tarik sendiri dalam ruang publik kita, seakan mensyiratkan perang daya tarik menarik melalui energi seks. Belum lagi banyak pasangan menunjukkan kemesraannya diruang publik entah dalam mall, ditaman umum, tak canggung lagi melakukan aktivitas seksual di kendaraan pribadi: baik roda dua dengan mengekpresikan penonjolan pantat pada waktu dibonceng, lebih-lebih roda empat tidak ada risih sedikitpun melakukakanya seakan-akan dalam kamar sendiri.

Alasan inilah yang mungkin digunakan oleh kaum agamawan yang terorganisir dalam lembaga-lembaga keagamaan untuk membuat regulasi melalui UU APP karena telah mengganggu kesalehannya dan keimanannya serta merusak sinyal hubungan dengan tuhannya, yang memaksa mereka bolak balik mengulang nama tuhannya manakala melihat keseronokan karena degup jantung yang berpacu keras yang tergoda kebirahian akhirnya mereka menggunakan otoritas dan dalil untuk merepresi ekpresi seksual tersebut, apakah ini jalan kebijaksanaan? Mengapa ekpresi seksual menjadi fenomena yang tak terbendung dalam masyarakat kita?

Selama energi seks ditekan melalui bentuk apapun akan dialihkan dalam bentuk yang lebih berbahaya karena setiap energi butuh jalan keluanya yang hanya bisa ditranformasikan atau dilampaui dengan menyadari keberadaannya. Para agamawan tidak pernah memberi jalan keluar yang bijak malah menambah keruh masalah, pikirnya dengan pembatasan atau represitas demi moral yang agung akan membuat ekpresi seksual semakin surut. Ekpresi seksual akan terus mencari jalan keluar selama represi maupun penekanan yang halus (sublimasi) sebagai jalan yang ditempuh. Setiap bentuk represi akan melahirkan ekpresi.

Seks dan ruang publik

Ekpresi seksual di ruang publik menandakan satu dari kenikmatan yang diperoleh melalui seks tidak bisa memuaskan mereka lagi, akhirnya mereka membawa ketaknikmatan sensasi seksual dari ruang privat menuju ruang publik, dengan membawa ekpresi seksual diruang publik mereka mendapat sensasi kenikmatan yang tidak diperoleh dalam ruang privatnya. Membawa sensasi tersendiri karena pasti akan direspon oleh khalayak baik yang pro maupun kontra. Titik pusat masyarakat kita sekarang berada diluar, tidak berada di dalam setiap individu. Remote control di pegang oleh sistem sosial dan tradisi yang bodoh dan konyol ini.


Seharusnya masalah seks tidak ada kaitannya sama sekali dalam kepublikan, seks hanya fakta biologis yang bersifat netral. Tidak perlu ditempeli predikat hukum dalam dirinya antara yang lebih suci maupun tidak suci, tatanilai masyarakatlah yang membuat keruh masalah ini. Dalam kesejarahan seks tidak pernah menjadi komoditas publik, tetapi dalam kesejarahanya seks dijadikan batu loncatan untuk menggapai Yang Tertinggi atau Yang Agung melalui jalur energi seks, seks menjadi sesuatu yang sakral, hal ini bisa dilihat dalam relief bangunan yang berada dalam candi sukuh, prasasti-prasasti yang melambangkan lingga dan yoni seperti monas, misalnya, hal ini menandakan seks adalah sesuatu yang sakral yang patut diprasastasikan karena melalui itu Sang Keberadaan menujukkan manifestasiNYA. Hal inilah alasan mengapa seks harus dilakukan setelah nikah, karena dengan pensakralan seks akan mencapai kenikmatan puncaknya, tradisi-tradisi kuno yang tertuang dalam kamasutra ingin menjadikan seks sebagai sarana meditasi yang banyak di salah artikan oleh masyrakat saat ini.

Masyarakat modern sudah kehilangan kesakralan seks, sehingga mereka tidak pernah mencapai kenikmatan sedikitpun, seks menjadi mekanis layaknya makan dan minum yang tidak membawa transformasi batin sedikitpun. Tidak heran kalau jaman Vatsasyan, seksolog pertama kali didunia dan penulis kamasutra, orang hanya setahun sekali dalam berhubungan badan atau senggama karena kenikmatan seks masih terasa mengisi tulangsumsumnya, energi seks mengisi relung-relung spiritnya, ada semacam energi peremajaan yang membawa kesyahduan yang tak terdefinisikan, semacam ekstase. inilah perilaku seks yang benar. Masyarakat sekarang berkali-kali berhubungan tetapi tidak sedikitpun mencapai puncak kenikmatan.Malah terus mencari-cari rangsangan melalui ekpresi seksualnya karena mereka tidak pernah merasa puas dalam senggamanya.

Seks dan Kematian
Mahaguru spiritual Osho dalam bukunya Pskologi Alam Gaib yang berjudul asli psychology of the esoteric yang diterjemahkan pertamakali dalam bahasa Indonesia oleh guru besar kedokteran unpad, Soedjatmo soemowerdojo, mengatakan: tidak ada tindakan yang sedalam tindakan seks. Bila anda dapat tetap sadar selama melakukan seks, maka nanti waktu menghadapi mautpun anda akan sadar. Kedalaman tindakan seks dan kedalaman maut adalah sama, sejajar. Anda akan sampai di titik yang sama. Jadi bila anda tetap sadar di waktu melakukan seks, anda telah mencapai sesuatu yang besar. Itu tidak ternilai harganya.

Seks yang benar akan bisa menjadi sarana meditasi, alasan ini juga yang ditempuh oleh para suci dalam berbagai agama dan tradisi untuk memilih jalan membujang (selibat) karena melalui meditasinya mereka bisa bersenggama di alam nirvana yang tidak membutuhkan objek lawan jenis, titik puncak kenikmatan meditasi sama dengan orgasme yang sama-sama memberi efek kenikmatan. Meledaknya sang diri dalam meditasi seperti meledaknya kenikmatan yang tak terhingga dalam hubungan seks.

Hendaknya seks tidak dijadikan tujuan yang berlebih hanya sebuah sekedar sarana untuk menuju Yang Tertinggi, hanya dengan memberi pemahaman akan seks yang benar, dengan melampaui seks, ruang publik kita akan sepi dari ekpresi seksual karena setiap individu sudah mencapai titik kenikmatannya masing-masing. Hanya dengan melampaui dan menyadari energi seks ’masyarakat lemah syahwat’ ini akan berakhir.Selamat meniti menuju puncak tertinggi.




Selengkapnya...

Selasa, 02 Desember 2008

Khutbah Jumat

Umat Islam mempunyai ritual yang selalu disandarkan pada waktu-waktu tertentu (maukutaan-An Nisaa’ 103) seperti sholat lima waktu di sandarkan pada perubahan pergeseran matahari (ghurubu Syamsi--Al -Israa’ 78) yang mengakibatkan siang dan malam, Puasa Wajib pada bulan Ramadan seluruh umat Islam diwajibkan puasa sebulan penuh pada bulan Ramadan, ibadah haji dilakukan umat Islam pada bulan haji yaitu bulan Dzulhijjah (asyhurun ma’lumat-Al- Baqarah 197), pada tiap mingguanya ada ibadah Jumat yang wajib bagi umat Islam laki-laki, dan untuk ibadah dalam jangka tahunan ada dua hari raya id yaitu idul adha/ Idul Kurban dan Idul Fitri. Hampir kesemuan ritual umat Islam selalu di sandarkan pada waktu-waktu tertentu dan jangka waktu tertentu pula, ini memberi tamsil bahwa Islam memperhatikan hubungan manusia dengan alam. Alam yang kebanyakan dianggap benda mati oleh kebanyakan orang, ditentang oleh Agus Musthofa dalam bukunya yang berjudul Dzikir Tauhid; bahwa alam yang dianggap mati juga mempunyai kehendak, kemauan tertentu pula yang kadarnya berbeda dengan makhluk hidup lainya seperti manusia, tumbuhan dan binatang, namun memiliki kesamaan dalam hal kehendak untuk berbuat dalam kadarnya.

Umat Islam mempunyai ritual yang selalu disandarkan pada waktu-waktu tertentu (maukutaan-An Nisaa’ 103) seperti sholat lima waktu di sandarkan pada perubahan pergeseran matahari (ghurubu Syamsi--Al -Israa’ 78) yang mengakibatkan siang dan malam, Puasa Wajib pada bulan Ramadan seluruh umat Islam diwajibkan puasa sebulan penuh pada bulan Ramadan, ibadah haji dilakukan umat Islam pada bulan haji yaitu bulan Dzulhijjah (asyhurun ma’lumat-Al- Baqarah 197), pada tiap mingguanya ada ibadah Jumat yang wajib bagi umat Islam laki-laki, dan untuk ibadah dalam jangka tahunan ada dua hari raya id yaitu idul adha/ Idul Kurban dan Idul Fitri. Hampir kesemuan ritual umat Islam selalu di sandarkan pada waktu-waktu tertentu dan jangka waktu tertentu pula, ini memberi tamsil bahwa Islam memperhatikan hubungan manusia dengan alam. Alam yang kebanyakan dianggap benda mati oleh kebanyakan orang, ditentang oleh Agus Musthofa dalam bukunya yang berjudul Dzikir Tauhid; bahwa alam yang dianggap mati juga mempunyai kehendak, kemauan tertentu pula yang kadarnya berbeda dengan makhluk hidup lainya seperti manusia, tumbuhan dan binatang, namun memiliki kesamaan dalam hal kehendak untuk berbuat dalam kadarnya.


Islam selalu menganjurkan untuk menjaga keseimbangan alam dan manusia, baik dalam jagad kecil maupun jagad gede (makro kosmos dan mikro kosmos) (sanurihim ayatina fil affaki wa fil anfuusi--Al-Fushilat 53 ) untuk itulah Islam menyadarkan ritual ibadahnya pada perubahan waktu agar umat Islam selalu tetap sebagai pemimpin di muka bumi yang selalu menjaga keseimbangan alam (aladzi kholaka sab’aa samawati tibaqa ma tara fi kholqi rahmana min tafut farjii’l bashor hal tara min futhur -Al-Mulk 3) .

Saya mencurigai hampir dalam tiap ibadah yang berjangka waktu disana selalu ada ritual khutbah seperti Jumatan, Idul Fitri, Idul Adha, apakah dalam khutbah itu seharusnya berisi gejala-gejala alam atau tanda-tanda jaman yang terjadi dalam kurun waktu minggu atau tahunan yang harus diperhatikan oleh umat Islam sehingga rosullah pada waktu itu selalu mengingatkan kita untuk menjaga keseimbangan alam melalui khutbah-khutbahnya, apakah demikian? Kalau ya demikian yang berhak menyampaikan khutbah adalah orang-orang yang benar-benar mumpuni, orang ulul albab yang bisa membaca fenomena “alam non verbal” yang tak terbaca oleh kasat mata, dan telah mencapai mukasyafah-orang yang berhasil menyibak Rahasia Alam Alam-Alam Rahasia- (seperti judul bukunya Anand Krishna)-aladzina yadkurunallah qiyama wa quuda wa’la junubihim wayatafakaruna fi kholqi samawati wal ardi robana ma kholakta hada batila subhanaka faqina adabannar-.(Ali imran : 190-191)

Dalam hadist yang diriwiyatkan oleh Imam Muslim, bahwa Rasulullah SAW senang membaca surat Qaaf pada rakaat pertama sembahyang subuh dan pada shalat hari raya. Sedang menurut riwayat Abu Daud, Al Baihaqy dan Ibnu Majah bahwa Rasulullah SAW membaca surat Qaaf pada tiap-tiap membaca khutbah pada hari juma’at. Setelah mendapat informasi hadist ini saya mencoba membuka surat Qaaf yang terdiri dari 45 ayat , mengapa rosullulah selalu membaca surat Qaaf dalam setiap khutbah Jumatnya? pertanyaan inilah yang memberanikan saya untuk mencoba mengkaji surat Qaaf sebagai berikut:

Ayat 1-5 :Allah menggambarkan keraguaan orang-orang kafir terhadap tata sistem keseimbangan melalui mekanisme alam yang digerakakan oleh Allah.

Ayat 6-11: Allah menggambarkan penciptaan Allah didesain dengan amat rapi, teratur, sempurna dan seimbang.

Ayat 12-14: Allah memberikan gambaran umat-umat terdahulu yang merusak keseimbangan alam seperti umat nabi Nuh, penduduk Rass, samud, kaum Aad, kaum fira’un, kaum Luth, penduduk Aikah dan Tubba’ Allah menghancurkan umat tersebut karena telah merusak keseimbangan alam.

Ayat 15: setelah Allah menghancurkan umat terdahulu, Allahlah yang mendaur ulang secara alami kehidupan dalam tata keseimbangan yang padu (menyeimbangkan kembali).

Ayat 16 Allah mengkabarkan bahwa Allah dekat seperti dekatnya urat leher ayat ini memberi artian bahwa Allah terlibat aktif dalam menjaga keseimbangan alam dan juga memberi tamsil bahwa dalam diri manusia terdapat gambaran jagat gede dan jagat cilik (makro kosmos dan mikro kosmos).

Ayat 17-23 dalam ayat ini Allah menggambarkan mikro kosmos yang terdapat dalam diri manusia atau subsistem alam yang terdapat dalam diri manusia dengan tamsil malaikat yang selalu mencatat perbuatan amal baik dan buruk serta mengiringi setiap langkah manusia.

Ayat 24-28 Allah menggambarkan hukuman bagi orang-orang yang merusak keseimbangan alam, namun dalam ayat 29 Allah menegaskan bukan Allahlah yang menyiksa atau menghukum orang-orang tersebut melainkan mekanisme alamiahlah yang bekerja. Seoalah olah untuk mencapai keseimbanganya lagi alam harus memakan korban seperti yang diungkapkan Allah dalam ayat ini.

Ayat 30-35 Allah menggambarkan keharmonisan alam dan manusia bisa terjaga maka alam akan bekerja dengan baik pula, tetapi manakala dirusak keseimbangan alamnya maka Allah memberi tamsil akan umat yang terdahulu yang pernah hancur karena melawan mekanisme alam. Dalam ayat 36 dan 37 Allah memberi warning tegas terhadap orang-orang yang merusak keseimbangan ekosistem alam.

Ayat 38 dan 39 Allah menggambarkan proses penciptaan alam oleh Allah dengan penuh keseimbangan. Dan sebagai penutup yaitu dalam ayat 40-45 Allah menganjurkan untuk mengasah kepekaan kita terhadap lingkungan kita melalui bertasbih dan berdzikir.

Surat Qaaf yang selalu di baca kanjeng nabi memuat anjuran umat Islam untuk menjaga keseimbangan alam. Melalui khutbah yang di sampaikan kanjeng nabi pada jaman kanjeng nabi masih sugeng (Baca: masih hidup) khutbah berfungsi sebagai forum ilmiah penyampaian fenomena alam yang harus di perhatikan manusia terutama umat Islam. Dalam kenyataannya khutbah Jumat di masjid-masjid perkotaan banyak diisi dengan ceramah-ceramah yang berbau propagandis dari golongan ormas Islam tertentu yang banyak menghasut dan banyak sekali muatan politiknya ketimbang penyampaian ”ruh Islam” (nilai-nilai Islam universal) yang sebenarnya. Dalam hal ini perkenankan saya mengutip tulisan kang Ulil yang banyak dikafirkan oleh sebagian umat Islam karena kekritisanya terhadap umat Islam sendiri. Kang Ulil menulis tentang fenomena masjid dan peradaban umat Islam yang merosot.

”Saya curiga, tampaknya masjid-masjid kita kini bukan lagi tempat umat bisa menambah wawasan keagamaannya dengan cerdas, tapi justru menjadi tempat untuk merawat "kesemenjanaan" atau mediokrisi. Dari hari ke hari, umat dijejali dengan demagogi, ceramah yang sarat dengan klise, repetisi materi yang membosankan, dan kadang caci-maki yang menyuburkan rasa benci”
.

Itulah kenyataan yang terjadi bahwa masjid kita bukan lagi sebagai tempat penghalusan hati yang dapat menerima dan menangkap ”sinyal illahiah”, tetapi lebih menyuburkan rasa hati yang gelisah dan tertutup akan sinyal ilahiah tersebut. sehingga wajar umat Islam tidak peka lagi terhadap ”tanda-tanda alam non verbal”, umat Islam tidak waskito lagi dengan sasmita gaib alam, maka ketika datang kemurkaan alam seperti Tsunami, tanah longsor, gempa bumi, banjir bandang dan yang mengakibatkan bencana sosial lainnya seperti kemiskinan, penganguran, penggusuran, pagebluk (flu burung,antraks, HIV AIDS) dll tidak ada umat Islam yang bisa menerima sinyal alam tersebut, maka banyak saudara muslim yang meninggal dalam bencana alam -yang lebih celaka lagi banyak sekali dai’-dai, ustadz-ustadz melalui mimbar khutbahnya menyalahkan orang-orang kafir, orang Islam yang tidak sholat, orang mendhem

an (pemabuk), dll yang menyebabkan murka Allah. Mereka tidak berfikir kontemplatif bukankah dirinya juga dari permasalahan yang sebenarnya? yang menggeser fungsi Khutbah Juma’at dari forum kontemplasi ukhrowi tentang hubungan manusia dengan alam bergeser menjadi forum cacian dan hasutan atas nama perjuangan agama.

Saya punya seorang kawan yang tidak mau melaksanakan ritual Juma’tan dengan alasan khutbah Jumat tidak menentramkan hati tetapi malah membuat hati keras dan tidak meneduhkan hati. Sampai kapan kita akan melihat kemunduran mutu dari kualitas khutbah Jumat ? dari tema yang diulang-ulang tiap Jumatnya, kutipan-kutipan quran dan hadist yang disampaikan sepotong-potong, menafsiri ayat semau guwe.

Walhasil khutbah Jumat semakin membuat jamaah sholat jumat lelap dalam tidur mimpi indah tentang surga. Khutbah Jumat sudah saatnya dibenahai dari khotib yang benar-benar mumpuni dalam segala ilmunya, mutu materi khutbah Jumatnya yang berisi tentang tanda-tanda jaman, gerak-gerik alam dalam kurun seminggu sehingga umat Islam lebih mendekatkan diri dengan Allah pencipta alam semesta dan menumbuhkan kesadaran bahwa kita semua terendam dalam kebesaran zat tuhan melalui mekanisme alam yang digerakkan-NYA sudah sepatutnya umat Islam mendekatkan diri dengan alam sebagai manifestasi tuhan yang konkret. Wallahu a’lam bishowab.wasallam.
Malang, Jum’at Wage 6 Juli 2007

* Alumni Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang dan Mahasiswa Universitas Negeri Malang



Selengkapnya...

TRADISI MEGENGAN DAN ULAMA

Umat islam di Indonesia khususnya masyarakat Islam Jawa mempunyai tradisi yang khas sebelum memasuki bulan Ramadan atau bisa disebut pra-kondisi Ramadan yang diisi berbagai kegiatan diantaranya: masyarakat berbondong-bondong menuju pesarean atau kuburan untuk melakukan ziarah sebagai ritus bakti untuk mengingat orang yang sudah meninggal dengan membawa sapu lidi dan bunga untuk di taburkan di pusara makam, .....

Umat islam di Indonesia khususnya masyarakat Islam Jawa mempunyai tradisi yang khas sebelum memasuki bulan Ramadan atau bisa disebut pra-kondisi Ramadan yang diisi berbagai kegiatan diantaranya: masyarakat berbondong-bondong menuju pesarean atau kuburan untuk melakukan ziarah sebagai ritus bakti untuk mengingat orang yang sudah meninggal dengan membawa sapu lidi dan bunga untuk di taburkan di pusara makam, melakukan sungkeman kedua orang tua atas segala dosa, mengucapkan selamat kepada sahabat dan handai tolan melalui SMS yang berisi kecerian memasuki bulan Ramadan atau pun ucapan saling memaafkan supaya dalam bulan Ramadan ini benar–benar mencapai lompatan spiritual menuju pencerahan. Selain kegiatan yang mempunyai hubungan dengan orang lain (haqul adami) ada juga kegiatan yang bersifat ritual personal (haqul allah) seperti mandi besar pada saat malam sebelum puasa sebagai pembersihan jiwa melalui pembersihan fisik. Selain itu pada malam hari setelah sholat tarwih digelarlah selametan megengan dan kirim doa leluhur yang telah meninggalkan dunia, acara ini digelar ditiap surau-surau, mushola-mushola dan masjid-masjid di kampung yang dipadati anak-anak kecil yang nakal dan ramai berebut nasi serta berebut menabuh kentongan dan bedug.


Tradisi selametan megengan ini sudah mendarah daging dalam masyarakat Jawa yang oleh orang yang baru “mendalami Islam” sering dicap syirik, bida’h dan tidak ada pernah ada rujukan hadist yang sahih dengan menunjukan rasa tidak simpati dan dangkal akan apresiasi agama dan budaya. Tulisan ini merupakan apresiasi terhadap budaya megengan yang mulai terkikis di masyarakat perkotaan yang disebabkan kesibukan orang kota yang mulai menikmati hidup serba instan dan silang pendapat yang tidak simpati terhadap budaya lokal atas dasar keagamaan.

Megengan secara etimologi berasal dari bahasa Jawa “megeng” yang berarti menahan, dalam tradisi lisan masyarakat pengguna bahasa Jawa (speech community) kata megeng selalu terkait dengan megeng nafas yang mempunyai makna “terasa berat, meskipun berat harus ditahan selayaknya orang menghirup nafas. Kata megeng juga sepadan dalam penggunaan kata Ramadan secara lughat yang berarti “imsak”, kata “imsak” dalam tradisi pesantren salaf yang biasa memaknai kitab dengan leksikal berbahasa Jawa, kata imsak diartikan dengan “nge’ker” atau menahan yang di dalamnya ada unsur pengikatan yang kuat dan kukuh. Dari kajian secara morfologis dari kata megeng hingga menjadi kata megengan yang ditambah sufiks (akhiran) –an diakhir kata mengandung arti proses yang terus menerus dan juga pembentukan kata benda.Dari kajian morfologis di atas kata megeng senafas dengan kata imsak, puasa dalam kacamata fikih diartikan proses menahan (megeng) dari yang membatalkan puasa seperti makan, minum dan hal-hal yang membangkitkan syahwat, tetapi bila di kaji lebih dalam penggunaan katamegeng, puasa tidak hanya menahan yang membatalkan secara dhohir (fisik; makan, minum dll), melainkan hal-hal yang lembut dan batiniah seperti lembutnya tarikan nafas yang keluar masuk hidung yang setiap hari kita hirup, harus juga kita tahan, bila kita jabarkan lebih luas puasa tidak hanya menahan hal-hal yang membatalkan puasa saja, tetapi juga menahan kebiasan-kebiasan setiap hari yang bersifat batiniah dan ukhrowi. Dalam kacamata ini puasa lebih bersifat latihan rasa yang mencakup dimensi batiniah, maka tidak heran dalam jarwa dhosok bahasa Jawa poso berarti “ngempet roso” ada juga yang mengartikan “ngeposke roso” yang mempunyai makna memberhentikan rasa. Dengan pemaknaan puasa Ramadan yang lebih dimaknai “olah rasa” yang bersifat batiniah melalui tradisi megengan ulama terdahulu mengajarkan kita untuk memaknai puasa Ramadan sebagai ritual yang sakral dengan cara menggelar tradisi megengan.

Bila kita telisik lebih jauh ulama-ulama salafus sholihin mempunyai visi jauh kedepan yang dikemas dalam tradisi megengan ini, puasa Ramadan tidak hanya dimaknai sebagai sebuah panggilan agama saja yang menganjurkan pemeluknya untuk menahan lapar, haus dan hal-hal yang bisa membangkitkan syahwat lebih daripada itu masyarakat mempunyai panggilan sosial dan budaya bahwa puasa tidak hanya ritual pribadi saja, selain itu juga mempunyai implikasi sosial. Pada saat ulama sekarang dengan bangga menggunakan istilah “transformasi agama; dari kesalehan individu menuju kesalehan sosial”, ulama terdahulu tanpa bahasa yang dakik-dakik sudah lari melampauinya menjadikan Ramadan sebagai sebuah fenomena budaya melalui tradisimegengan yang sudah diterima masyrakat. Dengan demikian tradisi megengan sebagai sebuah fenomena budaya di masyarakat dapat dilihat sebagai penjelmaan dari nilai ruhani Islam yang sudah melembaga dalam masyarakat menjadi ritus budaya. Wallahu ‘alam bishowab.

• penulis adalah alumni pesantren mahasiswa Al-hikam Malang dan alumni fakultas sastra universitas Negeri Malang.
Selengkapnya...

Pendekatan Budaya dalam Kampanye Pilgub JATIM

Sebentar lagi masyarakat Jatim akan mempunyai gawe besar yakni pemilihan gubernur secara langsung. “Hajatan demokrasi” ini selayaknya kita sambut dengan sayuk sak eko proyo dan rasa mamayu bagyo. Sudah bermunculan nama-nama calon gubernur Jatim beserta partai pengusungnya yang akan meramaikan bursa pertandingan gubernur diantaranya: Soenarjo dan Ali Maschan Moesa (Salam) yang diusung oleh partai Golkar, Soekarwo dan Saifulah Yusuf (Karsa) yang diusung oleh Partai Amanat Nasional dan Partai Demokrat, Soetjipto dan Ridwan Hisyam (SR) yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono(Kaji) yang diusung oleh Partai Pembangunan Nasional (PPP) serta Achmadi dan Suhartono yang diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Pilgub Jatim kali akan seru dan mengundang perhatian nasional karena diikuti oleh “punggawa-punggawa politik” yang pernah berkiprah dilevel nasional hingga merelakan dirinya untuk ngluruk kebawah (baca: Jatim) sebut saja misalnya Saifulah Yusuf (Gus Ipul) mantan Menteri Percepatan Desa Tertinggal, Khofifah Indar Parawansa mantan ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR RI dan juga ketua umum Muslimat pusat, kalaupun tidak pernah berkiprah dalam level nasional setidaknya mereka mempunyai kapasitas level nasional, misalnya Ali Maschan Moesa (Ketua umum PWNU Jatim)yang digadang-gadang akan menggantikan K.H. Hasyim Muzadi sebagai ketua umum PBNU. Pilgub Jatim menjadi “magnet politik” yang menyedot seluruh energi nasional untuk memaksa ikut andil dalam “kontestasi Pilgub Jatim” sampai Gus Dur sendiri rela ngantor di Surabaya untuk memenangkan Achmadi (Kompas,20/2 2008) sebagai Gubernur. Para pengamat politik memprediksi pilgub Jatim akan lebih menentukan perjalanan politik nasional daripada pemilihan gubernur DKI, karena Jatim merupakan barometer pertarungan nasional dan hasil Pilgub Jatim akan menentukan “arah angin” dan konfigurasi politik PEMILU 2009. PilgubJatim juga diperkirakan bisa berlangsung sampai dua kali putaran (Kompas, 9/4/2008). Dengan demikian promosi calon dan visi-misinya menjadi keharusan untuk dikemas sebaik mungkin dalam ajang kampanye nanti. Kebanyakan tim sukses calon gubernur dan think tanknya mengabaikan metode kampanye tetapi lebih mengedepankan tujuan lekas tersampainya figur calon tanpa adanya kajian yang mendalam sehingga tidak ditemukanlah kesesuaian pendekatan dengan sosio-budaya masyarakat setempat. Padahal dengan adanya kesesuaian pendekatan dengan sosio-budaya mempunyai implikasi maksud (message) dengan mudah tersampaikan oleh khalayak. Dalam risalah pendek ini, penulis akan memberikan gambaran perspektif pentingnya pendekatan budaya (cultural approach) dalam kampanye pilgub Jatim

Jatim sebagai geokultural

M. Said Mas’ud dalam artikelnya yang berjudul: Pilgub Jatim dan Empu gandring Abad 21 melihat Jawa Timur sebagai sebuah wilayah sosiologis—bukan wilayah administrasi—yang lahir secara evolutif, terintegrasi dalam perjalanan sejarah yang panjang, yang kemudian menemukan bentuk sebutan komunalnya yang disebut imagined community. Elemen-elemen ini terbentuk dari pergulatan panjang yang menyangkut cara berpikir, cara bertindak, cara mendekati masalah sampai cara menyelesaikannya secara bersama sebut saja fenomena itu dengan gaya timuran. Jawa Timur tidak bisa dilihat dari batasan administrasi geografi wilayah saja, melainkan dari rumpun budaya daerah yang menjadi perekat kuat. Misalnya: Pasuruan, Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Lumajang Utara tidak sebagai wilayah administarsi yang bediri secara otonom melainkan sebagai sebuh rumpun budaya yang jamak disebut daerah “Tapal Kuda” nama ini merupakan istilah geopolitik dan geososial budaya untuk menyebut enam daerah tersebut karena bila ditarik dengan garis penghubung keenam daerah itu akan membentuk lekukan yang serupa dengan “tapal kuda” atau kasut besi kaki kuda (ladam) (Kusnadi, 2001).

Berbeda lagi dengan daerah Malang Selatan yang berdekatan dengan kabupaten Blitar yang dipisahkan oleh waduk karangkates atau bendungan sutami, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Pacitan, Kediri-Pare yang tidak berhimpitan dengan Jombang, Nganjuk, Madiun, Ponorogo, Magetan, Ngawi yang jamak disebut daerah metaraman atau kulonan yang ditandai dengan penggunaan dialek jawa yang kental (medok) dan sistem kekerabatan yang kuat mengikat hubungan antar masyarakatnya. Dalam kajian geografi dialek (lokabasa) pun ada temuan yang menarik ternyata untuk aksen dialek Jawa “kon” (kamu) dan “kowe (kamu) dipisahkan oleh waduk karangkates yang memisahkan kabupaten Malang dan kabupaten Blitar. Dalam satu daerah di Jawa Timur bisa memungkinkan adanya dua budaya yang ditandai dengan aksen dialek yang berbeda, daerah Kediri-Pare, misalnya ada yang menggunakan dialek jawa kulonan yang medok dan ada juga yang menggunakan dialek suroboyoan.

Gambaran diatas mencoba memberi gambaran begitu banyaknya ragam budaya yang berkembang di Jawa Timur, belum lagi daerah pesisir pantai utara yang mempunyai kekhasan budaya yang menjadi ciri identik masyarakatnya. Untuk itu sebagai sebuah keharusan adanya pemetaan yang utuh tentang ragam budaya yang ada di Jawa Timur. Dari hasil temuan itu akan dipilah pendekatan yang sesuai dengan sosio-budaya masyarakatnya. Strategi kampanyepun harus berdasarkan kajian budaya, kalau mengabaikan temuan “korpus budaya” yang akurat strategi kampanye malah kontra produktif dan menjadi bumerang bagi calon.

Hasil jajak pendapat Kompas yang dilansir pada (5/4/2008) menyebutkan bahwa pasangan “Salam” lebih populer 46 persen, “Karsa” memporoleh 37,5 persen sedangkan pasangan Soetjipto-Ridwan Hisjam (SR) memperoleh 15,6 persen. Yang menjadi pertanyaan mengapa pasangan Salam lebih populer? Kalau dilihat dari pemasangan spanduk dan baliho belum bisa mengalahkan “semaraknya” pasangan Karsa, sedangkan pasangan Salam paling sedikit dari “semarak” pemasangan baliho dan spanduk dibanding pasangan calon manapun. Disini penulis mempunyai asumsi bahwa Soenarjo bisa lebih populer dibandingkan calon lain karena aktivitas Soenarjo sebagai seorang dalang Wayang Kulit yang sering menghiasi layar TV sebelum hiruk pikuk pilgub dimulai. Masyarakat Jatim yang dipelosok desa dan kampung tidak pernah mengenal Soenarjo sebagai wakil Gubernur Jatim, melainkan seorang dalang yang pandai nembang, suluk dan jantur. Sebagaiamna hasil penelitian Victoria M. Clara van Groenendael, seorang antropolog Belanda yang berjudul Er zit een dalang achter de wayang, yang pada tahun 1987 telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi ‘Dalang dibalik wayang’ bahwa dalam pandangan masyarakat Jawa tradisional dalang merupakan guru yang harus ditiru (baca: dicontoh) dan menjadi panutan tingkah lakunya (Soedarsono,1999).Disinilah peran penting pendekatan budaya yang bisa mengalahkan kerja mesin politik parpol. Modal Soenarjo dibanding calon lain cukup besar karena “investasi budaya” Soenarjo dengan mengambil peran sebagai seorang budayawan yang terjun praktis dilapangan sekaligus seorang wakil gubernur, perpaduan dua profesi ini akan mempunyai implikasi politik yang memikat masyarakat.

Penguasaan Ragam Dialek

Selain itu ragam dialek menjadi unsur yang tidak bisa diabaikan, banyaknya ragam dialek yang berkembang di Jatim mempunyai andil yang besar bagi calon yang menguasi ragam dialek. Dialek tersebut sudah terlembaga menjadi sosiolek—varian bahasa yang disebabkan perbedaan kelompok sosial tertentu dalam masyarakat—yang sudah menjadi ciri khas dialek masyarakat setempat, sedikitnya calon gubernur Jatim menguasai dialek Madura, Suroboyoan, kulonan, dan osing penguasaan ragam dialek yang mumpuni dan lancar akan memberi andil yang cukup besar untuk mendulang suara. Masyarakat akan tersentuh dan bisa memahami maksud hati calon melalui penyampaian visi dan misi apabila menggunakan bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat, lebih khusus lagi adalah dialek yang mereka gunakan.

Semiotika Nama

Kalau Shakespeare pernah bertanya apalah arti sebuah nama?, Nama dalam kampanye sangat berperan penting dalam pencitraan dan mencerminkan “citra diri” dan “perlambang diri” serta “ikon” yang menjadi parameter apakah nama calon memasyarakat dan dikenal publik apakah tidak. Masih teringat sampai sekarang pengalaman Pemilu 2004, Susilo Bambang Yudhoyono disingkat dengan populer dengan “SBY” yang sampai sekarang masih menjadi ikon yang kuat bagi diri pak presiden. Di akui maupun tidak keberhasilan tim sukses pak presiden karena ide kreatif menyingkat dan memendekkan nama sehingga mudah diingat. Sapaan nama selalu membawa rasa lebih dekat dan akrab yang mengandung arti kedekatan secara emosional, dalam kasus ini kalangan warga PDI-P lebih sering menyebut “Mbak Mega” daripada nama lengkapnya Ibu Megawati Soekarno Putri.Ide kreatif harus selalu digali untuk memasyarakatkan sebuah nama, sapaan dan arti nama yang berimplikasi pada citra diri.

Dari beberapa nama calon gubernur, tampaknya Soekarwo yang punya ikon sapaan dan sebutan yang memasyarakat yakni dengan panggilan “Pakde Karwo”. Sampai menjadi ikon dan nama produk makanan yang akrab dan memasyarkat. Masyarakat Jatim yang dipelosok desa tampaknya belum bisa mengaksentuasikan dan melafalkan nama dari bahasa arab dengan lancar, misalnya saja masyarakat tidak pernah mengenal Abdurahman wahid, tetapi lebih mengenal dengan Gus Dur ataupun Gus Solah dari nama Solahudin Wahid. Bahasa Arab mempunyai kesan berat untuk diaksentuasikan dalam bahasa sehari-hari. Misalnya nama calon gubernur “Khofifah “secara aksentuasi fonologis berat dan sulit untuk dilafalkan bagi masyarakat yang dipelosok, alangkah lebih baik dipopulerkan dengan nama yang mudah diingat dan ringan untuk diucapkan, misalnya saja “Mbak Ifah”, atau dengan memendekkan nama “KIP kepanjangan Khofifah Indar Parawansa” dengan jargon “Bu KIP yang selalu Sip”. Persamaan bunyi akhir selalu menarik untuk diperhatikan karena mempunyai efek keterpaduan dan keharmonisan serta keringanan pengucapan yang membawa dampak psikologis pemilih.

Nama yang berasal dari bahasa Jawa sangar populer di masyarakat, dalam hal ini Soenarjo, Soekarwo dan Sutjipto mempunyai peluang besar untuk popular dari sisi nama, karena telinga masyarakat sudah sering mendengar ketiga nama itu dan banyak sekali ketiga nama itu ditemukan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat karena banyak sekali masyarakat yang mempunyai kemiripan nama dengan ketiga nama tadi.

Dari paparan sekelumit tentang pendekatan budaya dalam kampanye pilgub Jatim bahwa selama ini pendekatan budaya seringkali diabaikan oleh tim sukses, untuk itu Jatim yang terdiri dari ragam budaya yang kompleks sudah selayaknya tim sukses mengkaji dan memetakan dengan detail peta geokultural Jatim, sehingga bisa menentukan pendekatan budaya yang tepat. Wasalam. Wallahu’alam bishowab.


* Ketua Lingkar Studi Sosial dan Budaya “Akshara Bhumi Nuswantara” dan mahasiswa program pascsarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.


Selengkapnya...

Pudarnya Tungku Peradaban

Minggu-minggu ini selain banyak orang mamayu bagyo menyambut datangnya bulan suci Ramadan juga banyak orang yang merayakan keberhasilan putera-puterinya dalam memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dengan tingginya harapan akan masa depan anak yang lebih baik, maka segenap pengorbanan dicurahkan untuk pendidikan putera-puterinya dengan mengikuti serangkain program yang digelar oleh pemerintah melalui PSB Online dan yang akan memasuki perguruan tinggi dengan mengikuti seleksi UMB dan SNMPTN maupun jalur tes sendiri (swadaya).Mereka (baca: orang tua) sadar bahwa melalui pendidikan akan bisa memperbaiki kehidupan putera-puterinya di masa mendatang baik secara ekonomi, budaya maupun meningkatnya status sosial.Begitu besar harapan masyarakat terhadap lembaga pendidikan, mereka berlomba-lomba untuk bisa menitipkan masa depan yang gemilang untuk putera-puterinya ditengah himpitan hidup yang semakin tak bendung lagi.

Tulisan ini merupakan refleksi sederhana atas fenomena masyarakat kita yang ”terlalu” berharap lebih terhadap lembaga pendidikan terutama perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, untuk itu perlunya melihat pergeseran paradigma yang berlangsung didalam lembaga pendidikan ini. Kampus yang konon dulu pernah menjadi ikon-ikon lokomotif peradaban serta memosisikan dirinya sebagai ”tungku peradaban” yang menggodok insan cendikia, sarjana yang sujana, ilmuwan yang berbudi pekerti luhur dan masih banyak lagi jubah-jubah kebesaran yang disandangaya sehingga terlalu berat untuk dilakoni. Saat ini jubah-jubah kebesaran itu perlu ditanyakan ulang apakah masih layak untuk disandang?

Komersialisasi Pendidikan

Kebijakan pemeritah yang harus memaksa perguruan tinggi untuk mencari sumber dana sendiri atau lebih dikenal dengan kebijakan privatisasi pendidikan melalui kebijakan BHP atau BLU membuat kalangan petinggi perguruan tinggi kelabakan untuk memutar otak bagaimana lembaganya bisa survive ditengah-tengah pemangkasan subsidi. Perguruan Tinggi juga diberi kewenangan untuk mencari penghasilan tambahan untuk itu jalan yang mudah ditempuh adalah dengan menaikkan biaya pendidikan, secara otomatis kebijakan ini membawa konsekuensi logis yakni mengedepankan terpenuhinya kebutuhan anggaran rumah tangga kampusnya dengan cara menurunkan standar mutu mahasiswa yang masuk. Sudah jamak lumrah kita temui banyak kampus yang terang-terangan mematok harga tinggi untuk jurusan-jurusan tertentu supaya dapur kampusnya tetap mengepul. Kampus menjadi sebuah ajang transaksi jual-beli selayaknya pasar. Disinilah kritik Bourdieu relevan untuk diketengahkan bahwa sekolah menjadi lembaga bersemainya kesenjangan sosial karena hanya kelas sosial atas yang bisa memasukinya dan didukung habitus yang mendukung untuk terwujudnya pelanggengan kelas elite. Kampus yang seharusnya bersih dari tangan-tangan modal dan menjadi ”benteng moralitas” dalam menyuarakan nilai-nilai luhur yang adiluhung sudah terkooptasi oleh angkaramurka pemilik modal.

Ideologi uang berkuasa dengan keperkasaan nominalnya mampu meredupkan tungku yang pernah menyalakan kayu bakar untuk menggodok cerdik cendekia, sekarang tungku itu telah redup tidak bisa menyala terang lagi terguyur oleh kekuatan dan keperkasaan uang. Kampus-kampus ternama di negeri ini pernah menjadi kawah candradimukanya sarjana yang cerdik cendekia, begitu bangganya dulu orang bisa menjadi mahasiswa dikampus ternama karena mereka pastilah orang pinilih yang memiliki kepandaian dan kecerdasan di atas rata-rata, meskipun dari latarbelakang orang yang tidak berada dan dari pelosok desa serta penjuru kampung manapun. Namun, kampus ternama itu sekarang bercokolnya orang-orang yang memiliki modal, meskipun dengan kecerdasan rendahpun tidak soal yang penting mampu membayar biaya perkuliahan, maka wajarlah bila hari ini lingkungan akademik tidak lagi tercipta di ruang yang dihuni oleh para akademis. Toko-toko buku dan ruang-ruang diskusi di kota-kota yang menjadi pusat belajar sepi pengunjung yang notabene banyak dihuni mahasiswa. Menjamurnya cafe, tempat hiburan malam, tempat bersolek menjadi ramai dikunjungi mahasiswa menjadi hal yang paradok di tengah-tengah kota yang menyandang sebutan ”Kota Pelajar”. Akankah kita menaruh harapan ”lebih”lagi terhadap tungku peradaban ini? Semoga lambat laun tungku peradaban tetap menyala seperti sediakala yang bisa menghasilkan sarjana yang sujana dan memberikan kontribusi terhadap kesemrawutan negara kita saat ini, Semoga.Wallahu a’lam bi showab.


* Ketua Studi Lingkar Budaya ” Akshara Bhumi Nuswantara”


Selengkapnya...

Bung Karno dan Ahmadiyah

“Sejarah bangsa Indonesia tidak pernah bergerak maju”, mungkin kalimat inilah yang pas untuk menggambarkan kondisi bangsa ini yang terus berkutat pada masalah-masalah yang tak ada ujung pangkalnya. Sejarah bangsa ini terus berulang, misalnya, tentang Ahmadiyah. Bung Karno pernah menulis risalah pendek yang berjudul ” Tidak Percaya bahwa Mirza Gulam Ahmad adalah Nabi” yang terdapat dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I sebagai sebuah upaya yang di tempuh Bung Karno untuk memberi penjelasan tentang tuduhan bahwa Bung Karno telah mendirikan cabang Ahmadiyah di daerah Celebes dan menjadi propagandisnya. Artikel Bung Karno yang ditulis dalam masa pembuangan di Endeh Flores tertanggal 25 Nopember 1936 yang sampai sekarang masih relevan untuk kita hadirkan dalam konteks kekinian ditengah-tengah masyarakat yang asyik-masyuk tentang pro kontra Ahmadiyah. Melalui tulisan ini setidaknya bisa menyadarkan bangsa Indonesia dari jerat kesesatan berpikir sehingga tidak mudah untuk mengatakan ”sesat” namun, tanpa pernah mengkaji lebih dalam apa yang sebenarnya”disesatkan” itu.

Apresiasi BK terhadap Ahmadiyah

Bung Karno tidak sependapat dengan Ahmadiyah tentang prinsip kenabian yang “mengkramatkan” Mirza Gulam Ahmad sebagai seorang nabi dan sebagai seorang moedjadid (pembaharu). Kesimpulan BK tidak berdasarkan atas “kejumudan” dan ”ego keislaman” namun berdasarkan kajian yang mendalam atas buku-buku yang dikeluarkan oleh Ahmadiyah antara lain: Mohammad the prophet karya dari Mohamad Ali, Inleiding tot de studie van den Heiligen Qoer’an juga karya Mohamad Ali, Het evangelie van den daad karya Chawaja Kamaloedin, seorang mubalig Hindustan yang menjadi imam di London , De bronnen van het Christendom karya Chawaja Kamaloedin yang juga pernah berkunjung ke Jawa untuk mensyiarkan kebesaran Islam yang akhirnya menjadi cikal bakal Ahmadiyah di Indonesia dan Islamic Review yang banyak memuat artikel-artikel pemikiran keislaman yang bagus. Tidak ketinggalan BK juga mempelajari tafsir quran karya Mohamad Ali dengan apresiasi yang santun BK bertutur:

“Dan tafsir quran buatan Mohamad Ali, walaupun ada beberapa fatsal jang tidak saja setudjui, adalah banjak djuga menolong kepada penerangan bagi saja. Memang pada umumnja saja mempeladjari agama Islam itu tidak dari satu sumber sahadja, banjak sumber jang saja datangi dan saja minum airnja.”

Metode berpikir BK menggunakan nalar berpikir dialektis—usaha untuk mencari sintesa dari tesa dan antitesa--, hal ini nampak dilakukan BK dengan kecermatanya untuk mendalami buku-buku yang menjadi anti-tesa Ahmadiyah yakni buku-buku terbitan Muhamadiyah dan persatuan Islam serta buku-buku dari lawan Islam sendiri yang ditulis oleh para orientalis maupun orang non-muslim yang bersimpati terhadap Islam karya-karya Snouk Hurgronje, Arcken, dan Dozy Hartmann.

Hasil sintesis BK tentang Ahmadiyah tertuang dalam pernyataan yang brilian:

Dan mengenai Ahmadiyah, walupun beberapa fatsal didalam mereka punja visi saja tolak dengan jakin, toch pada umumnya ada mereka punja “features” jang saja setudjui: mereka punja rationalisme, mereka punja kelebaran penglihatan (broadmindedness), mereka punja modernisme, mereka punja hati-hati terhadap kepada hadits, mereka punja striven Quran sahadja dulu, mereka punya systematische aannemelijk making van den Islam”.


Lebih lanjut BK memberi apresiasi tentang Ahmadiyah:

Maka oleh karena itulah, walaupun ada beberapa pasal dari Ahmadiyah tidak saja setudjui dan malahan saja tolak, misalnja mereka punja ”pengeramatan” kepada Mirza Gulam Ahmad, dan mereka punja ketjintaan kepada imperialisme Inggeris, toch saja merasa wadjib berterima kasih atas faedah-faedah dan penerangan-penerangan jang telah saja dapatkan dari mereka punja tulisan-tulisan jang rationeel, modern, broadminded dan logis itu.”

BK tidak hanya mengutarakan ketidaksepehamannya terhadap Ahmadiyah khususnya tentang ihwal kenabian Mirza Gulam Ahmad namun juga memberi apresiasi kepada Ahmadiyah yang menerjemahkan Islam dengan bahasa yang rational, logis dan keluasan berpikirnya. Pada tahun 1953 melalui Departemen Kehakiman BK memberi ”restu” terhadap keberadaan Ahmadiyah. Mulai saat itu berbagai cabang mulai dibentuk diberbagai wilayah di Indonesia.

Kesantunan perbedaan pendapat diajarkan BK kepada bangsa Indonesia dalam kerangka negara kebangsaan (nation-state) yang disinari nilai-nilai luhur agama patut untuk disyiarkan keseluruh elemen bangsa ini. Artikulasi keislamaan Bukan kekerasan dan vandalisme namun, sebagai kesadaran personal akan ketundukan diri yang tercermin dalam perilaku keseharian yang mencerminkan penghayatan nilai-nilai keislaman. Semoga bangsa Indonesia bisa belajar dari kearifan dan kebijaksanaan bunga bangsa yang dinobatkan menjadi The Founding Fathers ini. Semoga bisa. Wasalam.


* Ketua Lingkar Studi ” Akshara Bhumi Nuswantara” dan Alumni Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, Malang.

Selengkapnya...

Memaknai kembali “Malam Seribu Bulan”

Tak terasa bulan Ramadan akan meninggalkan kita semua. Di penghujung Ramadan ini umat Islah tengah tersibukkan diri dengan ritual keagamaan untuk menyambut malam Lailatul Qadr atau malam seribu bulan yang ”konon” akan turun di penghujung akhir bulan Ramadan. Berbagai aktivitas tambahan digelar khusus untuk meraih malam seribu bulan ini dari i’tikaf (berdiam diri di masjid), sholat lail (sholat tahjud) berjamaah, ziarah makam-makam bertuah hingga melakukan pengasingan diri dengan melakukan wiridan ditempat-tempat sepi. Malam Lailatul Qadr menjadi selayaknya gadis pinangan yang cantik yang direbutkan oleh segenap pemuda desa, sehingga menjadikan sayembara digelar untuk mendapatkannya.

Malam Lilatul Qadr sering dimaknai selayaknya materi yang bisa diraih (To reached) sehingga mengakibatkan perlombaan dan ajang kontestasi untuk meraihnya. Bukankah malam Lailatul Qadr merupakan hal yang pinaringan (given) ”dari atas” bukan selayaknya materi yang diraih dan diperebutkan? Malam Lailatul Qadr lebih dekat dengan makna ”kunjungan” atau sedang melakukakan ”kunjungan”. Selayaknya kunjungan dia akan menyinggahi dan berkunjung kepada orang yang memang layak untuk dikunjungi, sehingga yang bisa dilakukan adalah menyiapkan diri atau mengkondisikan diri untuk layak dikunjungi.

Memaknai surat Al-qadr

Turunnya malam seribu bulan didasarkan dari interpretasi surat ”Al-qadr” yang memberi informasi bahwa malam seribu bulan akan turun. Secara etimologi al-qadr dimaknai ”segumpal darah” dan secara leksikal ”lailatul Qadr” adalah malam kemuliaan. Deskripsi malam Lailatul Qadr suatu malam yang sebanding dengan keutamaan seribu bulan (khoirun min alfi syhr) yang didalamnya malaikat-malaikat turun untuk memuliakan malam itu (tanazalul malaikatu wa ruhu fiha) untuk memberi keselamatan (salamun) hingga terbinya fajar (hatta matlail fajr).

Puasa dan malam seribu bulan adalah satu keterikatan yang manunggal artinya tidak akan datang ”malam seribu bulan” itu manakala tidak ada kualitas puasa yang menunjang hadirnya, orang berpuasa dengan ”penuh kesadaran” akan ada perubahan pola energi dalam dirinya secara alamiah, pelaksanaan puasa secara kolektif akan menciptakan medan magnet yang cukup besar yang bisa menarik benda yang kuat sekalipun yang dianalogkan dengan turunnya malaikat karena ada daya tarik magnetik yang kuat dibumi dan ini tidak akan terjadi tanpa ada munculnya ”fajar keisyafan rohani” yang dinarasikan dengan ’matlail fajr’. Peristiwa agung terbitnya fajar keisyafan rohani manusia ini sebanding dengan seribu bulan dalam ”satu masa kehidupan manusia” yang didalamnya manusia itu mengalami transformasi diri, seakan terlahir kembali (rebirth), maka ada hadis yang mengatakan ”kal waladathu umuhu”, seperti terlahir kembali dari rahim ibu, untuk menujukkan pahala bagi orang yang melakukan puasa.

Evaluasi Diri

Pengkondisian diri dengan melakukan puasa dengan penuh kesadaraan akan menjadikan manusia sadar akan jati dirinya sehingga yang perlu dilakukan di penghujung Ramadan ini adalah melakukan evaluasi diri terhadap kualitas puasa kita sudah dengan kesadaran atau hanya sekedar memenuhi keawajiban semata. Manakala pusa kita dijalani dengan kesadaran dan memunculkan keisyafan rohani, maka sang dewi seribu bulan akan berkunjung dan bersinggah dihati kita untuk mengajak kita untuk memasuki ”alam keberadaan diri” yang tersisa hanya hening ditengah malam. Pagi harinya kita akan merasa terlahir kembali mempuyai visi hidup baru, kepekaan, dan kewaskitaan.

Malam seribu bulan adalah masa transformasi diri untuk menuju esensi dari eksistensi, kehadirannya murni alamiah dan penuh dengan nur ilahiah, tidak bisa dipaksakan atau dijangkau dengan nalar logika yang perlu dipersiapkan hanyalah pembersihan diri dan keisyafan secara total.


* Ketua Studi Lingkar Budaya ”Akshara Bhumi Nuswantara” dan Alumni Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang.




Selengkapnya...

Possesive Ramadan

Bulan Ramadan telah menghampiri perjalanan kehidupan religiusitas kita. disambut dengan riang gembira seakan-akan kita akan memasuki sebuah ruang yang akan bisa memelantingkan kita menuju tempat terindah disisi Allah atau dengan kata lain ingin menghadirkan suasana surgawi dalam bulan Ramadan. Televisi mendukung dengan sajian program yang berbau rohani hampir sebulan penuh, artis-artis ramai-ramai menunjukan kesalehan dengan menggunakan jilbab yang menjadi tanda kesadaran kesalehan sudah mewujud dalam diri mereka. Dai-dai dan ustad merayakan masa panennya karena aktivitas ceramahnya semakin padat, lingkungan-lingkungan yang tidak mendukung terciptanya nuansa kesalehan dalam Ramadan dibredel dengan semangat jihad yang menggebu-gebu dengan disisirnya tempat hiburan malam dan ditutupnya tempat remang-remang tanpa memikirkan nasib pekerjanya yang tidak mendapat pengahasilan di bulan Ramadan.

Dalam bulan ini seakan-akan rasa kesalehan begitu hadir meruyak dan mewujud dalam kosmologi sosial secara tiba-tiba. Semangat keislaman atau ghirah keislaman seakan-akan menjadi satu dalam gerak nafas sosial. Mengapa semangat keislaman begitu kentara dan menunjukan ke-”spartan”-annya dibulan Ramadan ini? Untuk menjawab ini secara kebetulan ada iklan rokok yang lagi gencar-gencarnya mempromosikan dengan ikon cewek posesivenya yang selalu mengontrol keberadaan pacarnya sebagai manifestasi rasa cinta yang ”berlebih” terhadap kekasihnya. Koinsidensi ini patut untuk menjadi permenungan umat Islam saat ini, mengapa dalam bulan Ramadan ini kita begitu posesive terhadap Allah? Dengan menunjukkan kesalehan dengan mengontrol perilaku-perilaku sosial yang tidak sesuai dengan aturan Islam dan menunjukkan bahwa dalam bulan ini kita menjadi saleh secara tiba-tiba serta ruang-ruang sosial kita desain sedemikian rupa untuk menunjukan rasa kepatuhan kita terhadap Allah lewat bulan Ramadan ini?

Umat Islam seakan menujukan bahwa kecintaan dan kesalehan terhadap Allah ditunjukkan dengan mengontrol syariat yang dititahkan Allah. Secara tidak langsung umat Islam ingin berlomba bahwa kamilah yang ”sangat” dan ”amat” patuh terhadap-MU. Semangat keagamaan yang berlebihan seperti ini patut untuk di dialogkan lebih arif lagi. Semangat keIslaman yang berlebihan cenderung jatuh pada sifat kearogansiaan, keaangkuhan, dan kecongkakan. Sifat seperti ini malah berkebalikan dari semangat Islam yang sebenarnya.


Puasa ajaran semua para Nabi

Puasa adalah sebuah lorong waktu yang berfungsi selayaknya mesin waktu yang menggodok manusia untuk kembali ke sifat insaniyahnya, sehingga sifat kebinatangan akan terkikis dan tertanggalkan dengan sendirinya. Untuk itulah puasa membawa pesan universal bukan hanya ”milik” umat Islam semata melainkan milik umat manusia. Bila kita kaji lebih dalam sandaran perintah puasa diambil dari ayat quran (Al-Baqarah:183): ”wahai orang yang beriman diwajibkanlah kamu sekalian untuk melakoni puasa sebagaimana umat-umat terdahulu telah melakoninya. Agar kalian semua menjadi manusia yang taqwa (kembali ke sifat insaniyahnya/sifat kamanungsannya). Kata ’umat terdahulu’ (min qablikum) yang mempunyai maksud sebelum wahyu keislaman diturunkan atau dengan kata lain sebelum ajaran Islam datang Lelakon puasa sudah ada dan menjadi tradisi yang sudah dilakoni oleh umat para nabi sebelum Nabi Muhamad. Puasa adalah sebuah metode untuk mengembalikan sifat insaniyah manusia yang semakin terkikis dengan berlimpahnya materi dan keangkaramurkaan nafsu yang menyeret manusia ke lembah nista.

Dengan demikian puasa bukan monopoli umat Islam saja hampir disetiap ajaran agama ada anjuran untuk melakoni puasa. Umat Islam seharusnya lebih bisa bersikap dewasa dalam menjalani puasa tanpa harus mengharapkan ”perlakuan istimewa”dengan menunjukan rasa kepemilikian yang berlebih bahwa hanya kitalah (baca: umat Islam) yang sangat mencintai dan menjalankan aturan-aturaNya dan hanya umat Islamlah yang berhak menjalani puasa ini, maka atmosfir yang tidak mendukung harus disingkirkan karena mengganggu ibadah puasa kita.

Posesive menunjukan kedewasaan cintanya belum matang, cintanya masih butuh pengakuan, cintanya belum tanpa pamrih dan masih bersyarat. Kita melaksanakan puasa tetapi harus ditunjukkan secara besar-besaran bahwa kita puasa sebagai tanda rasa cinta kita terhadap Allah. Perayaan yang berlebih menunjukkan kedangkalan umat Islam dalam beragama. Cinta yang dewasa tidak membutukan pengakuan dari manapun juga.Bukankah puasa mendidik kita untuk menyerahkan ”amal terindah” dengan cara hening tanpa kata-kata, hanya kitalah yang mendengar gemuruhnya lambung dan kerontanya dahaga. Wallahu a’lam bi showab.


* Ketua Studi Lingkar Budaya ”Akshara Bhumi Nuswantara” dan Alumni Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang.

Selengkapnya...

Neoliberalisme yang Sekarat

Krisis finansial yang berlangsung di Amerika hari ini banyak kalangan menilai sebagai sebuah pertanda tumbangnya sistem neoliberalisme sebagaimana yang ditulis oleh Prof Sri Edi Swasono, The End of Laissez-faire (Jawa Pos, 9/10/2008), Lonceng Kematian Era Pasar Bebas oleh Joni Murti Mulyo Aji, (Jawa Pos, 8/10/2008), Menelanjangi Liberalisme oleh Ahmad Erani Yustika (Kompas, 22/10/2008), dan juga Neoliberalisme Kena Batunya oleh Marti Manurung (Kompas, 8/10/2008) yang mengindikasikan keruntuhan sistem neoliberalisme dengan sistem pasar bebasnya akan diganti dengan sistem baru yang diperkirakan akan muncul.

Keberhasilan China yang “tak merasa demam” dengan krisis yang mendera Amerika malah pertumbuhan ekonominya naik 9,7 % (China Daily) membawa persepsi bahwa sistem ekonomi sosialis komunislah yang bisa menyelamatkan dunia hingga akhirnya banyak orang berbondong-bondong menyerbu toko buku untuk mencari Das Kapital karya Mbah Karl Marx (Suara Pembaruan, 25/10/2008). Karl Marx dianggap sebagai dewa pelarian baru untuk mengobati kekecewaan dan kegagalan neoliberalisme, mereka berharap bahwa sosialisme akan segera menggantikan sistem neoliberalisme. Apakah sistem neoliberalisme benar-benar akan menggali lubang kuburnya sendiri?

Soekarno dalam pidatonya dimuka sidang umum PBB ke-XV tanggal 30 September 1960, sebuah pidato yang monumental dan banyak mengundang standing applaus dari perwakilan negara-negara didunia dengan judul To Build the world a new. Soekarno mengingatkan: Imperialisme belum lagi mati. Ya sedang dalam keadaan sekarat; ya, arus sejarah sedang melanda bentengnya dan menggerogoti pondamen-pondamennya; ya, kemenangan kemerdekaan dan nasionalisme sudah pasti. Akan tetapi dan camkanlah perkataan saya ini. Imperialisme yang sedang sekarat itu berbahaya sama berbahayanya dengan seekor harimau yang luka di dalam rimba yang tropik.

Pidato yang didengungkan pada tahun 1960 masih relevan untuk dikontekskan untuk menganalisis keadaan saat ini. Memang Amerika sedang digerogoti pondamen-pondamen ekonomi yang akhirnya memaksa pemerintah Amerika menggelontarkan dana talangan (bailout) sebesar 700 miliar US $ melalui diplomasi yang alot dengan kongres disertai dengan seperangakat undang-undang yang menyertainya diharapakan bisa segera memulihkan kondisi ekonomi Amerika. “(UU) Ini akan kita terapkan sebisa mungkin, namun tidak dapat berfungsi secara sempurna dalam satu malam. Perlu waktu beberapa saat untuk mendesain program yang efektif untuk mencapai tujuan dan tidak membuang-buang dolar milik pembayar pajak,” ujar presiden George Walker Bush seperti dikutip dari AFP, Sabtu (4/10/2008).

Sistem neoliberalisme dengan jargon pasar bebasnya sedang sekarat, tetapi belum mati secara total.Besar kemungkinan kegagalan sistem neoliberalisme saat ini akan dijadikan sebagai momen evaluasi untuk menjalankan kebiadaban dan keangkaramurkaannya lagi. Kerakusan yang tak terbendung dan tidak adanya regulasi yang mengatur pasar serta tidak adanya campur tangan pemerintah dalam mengendalikan denyut perkembangan pasar mengakibatkan sistem ekonomi neoliberalisme tersungkur hingga sekarat seperti saat ini.Pecahnya gelembung finansial atau yang terkenal dengan istilah the bubble finally burst yang akhirnya menyebabkan petaka finansial di Amerika pastilah akan menjadi pemicu untuk mengoreksi kelemahan-kelemahan sistem pasar bebas yang tak terkontrol dan yang mengandalkan transaksi semu.


Koreksi Pasar Bebas

Masih ingat dalam ingatan kesejarahan bangsa ini krisis moneter yang menimpa Indonesia tahun 1997 merupakan sebuah desain global imperialisme untuk merubah negara pembangunan (developmental state) sedang ditransformasikan menjadi jenis baru negara yang serba diatur (regulatory state) oleh kekusaan pasar global. Kredo pasar bebas yang merumuskan: unregulated market is the best way to increase economic growth, keyakinan bahwa hanya melalui pasar bebas pertumbuhan bisa dicapai yang selanjutnya membawa ajaran trickle down dalam ekonomi sebagai jalan pemerataan menetes kemasyarakat lain karena itu sistem itu perlu difasilitasi untuk menunjang roda mekanismenya, kalau perlu tidak ditarik pajak.

Pembebasan total arus kapital, barang dan jasa serta melenyapkan kontrol atas harga dan membiarkan mekanisme ”pasar bekerja” tanpa distorsi dan yang akhirnya melahirkan mitos ”the invisible hand” (tangan-tangan tuhan yang tak terlihat).

Sistem pasar bebas sebenarnya mempunyai maksud kerakusan dan keangkaramurkaan yang tak ingin dibatasi oleh regulasi dari otoritas manapun untuk memenuhi nafsunya, maka pantaslah bila Soekarno seringkali menggunakan metafor dalam dunia pedalangan Jawa Buto Terong haluaamah durga pengangsa-angsa untuk menggambarkan nafsu kerakusan dari imperialisme atau neoliberalisme.

Sistem pasar bebas mengharamkan mekanisme dirinya dicampuri oleh pemerintah, tetapi dalam kasus Amerika terjadi pelanggaran prinsip mekanisme pasar bebas itu sendiri dengan keterlibatan pemerintah yang mengucurkan dana talangan (bailout). Berkali-kali Presiden Bush meyakinkan senat dengan ucapan”kita harus bertindak” sebagai wujud campur tangan pemerintah terhadap mekanisme pasar. Pelanggaran prinsip ini dilakukan guna menyelamatkan mekanisme pasar itu sendiri. Disinilah letak koreksi dari sistem mekanisme pasar bebas, tampaknya kedepan mekanisme pasar akan mengikutsertakan pemeritah dalam penyelamatan mekanismenya, tetapi tidak mengontrol laju kebiadabannya. Sehingga kedepan akan tampak imperilialisme wajah baru yang humanis, tetapi lebih bengis dan lebih biadab dalam menghisap penderitaan rakyat miskin. Sebagaimana yang diutarakan oleh Samir Amin yang mashur tentang kritik-kritiknya terhadap sistem neoliberalis: tiap tahap perluasan kapitalisme dilengkapi dengan inovasi-inovasi besar dan regulasi politis dengan memperluas pasar.

Neoliberalisme yang sekarat saat ini sebenarnya adalah masa transisi perubahan wajah dari mekanisme yang membebaskan kerakusan menuju wajah neoliberalisme yang humanis tetapi lebih bengis dan berkedok moralis. Hal ini adalah salah satu indikator koreksi sistem neoliberalisme, masih banyak program-program sistem neoliberal yang harus diwaspadai khususnya untuk negara-negara berkembang. Kewasapadaan harus lebih ditingkatkan sebagaimana Soekarno mengingatkan imperialisme yang sedang sekarat itu berbahaya sama berbahayanya dengan seekor harimau yang luka di dalam rimba yang tropik.


* Ketua Studi Lingkar Budaya ” Akshara Bhumi Nuswantara”.




Selengkapnya...

Hilangnya “Ruh” FMK

Perhelatan budaya yang mengharu-biru masyarakat Malang telah berlalu, perhelatan budaya yang seakan meninabobokan masyarakat dengan pelbagai kesulitan sosial: dari kenaikan BBM, mahalnya harga sembako, pendidikan mahal seakan-akan lenyap hilang semuanya dengan adanya Festival Malang Kembali (FMK). Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya pengunjung yang mengujungi jalan Ijen dengan berduyun-duyun datang hingga rela berdesak-desakan hanya untuk melihat keadaan Malang Tempo Doeloe.

Puncak acara ini terjadi tepatnya pada hari sabtu malam minggu (24 Mei 2008) seluruh penjuru jalan macet karena dipenuhi ribuan sepeda motor yang parkir dan yang berlalulalang serta ratusan mobil memenuhi area jalan Ijen keadaan ini kontan memusingkan aparat kepolisian lalu lintas yang terpaksa melancarkan arus jalan.Padahal malamnya pemerintah baru saja mengumumkan kenaikan harga BBM yang sering diplesetkan bolak-balik mundhak (setiap kali naik) melalui jajaran menteri yang terkait dan berbagai rasionalisasi yang membenarkan kebijakan kenaikan BBM. Kenaikan BBM seolah-olah tidak menyurutkan niatan warga Malang untuk menghadiri festival budaya ini dan tidak mempengaruhi sedikitpun terhadap pola hidup hemat yang seharusnya digalakkan oleh warga Malang disaat kebutuhan semakin sulit.

Melalui tulisan ini saya akan melihat secara objektif dengan mengambil jarak dengan adanya Festival Malang Kembali (FMK) dan memberi apresiasi yang luar biasa terhadap upaya pelestarian budaya yang adiluhung serta selalu mengingatkan kota Malang akan sejarah masa lalunya yang diprakarsai oleh Pemkot Malang ini.

FMK yang sudah menjadi program kerja pemerintah kota Malang yang dilaksanakan setiap tahun bertujuan untuk melestarikan budaya dan mengingat sejarah masa lalu serta menarik wisatawan asing patut kita dukung. Namun, ada beberapa hal yang patut untuk diketengahkan ke khalayak dan pemangku kebijakan (stake holders) terhadap pelaksanaan FMK agar nantinya menjadi bahan evaluasi guna perbaikan FMK untuk tahun yang akan datang.

FMK seringkali diplesetkan oleh kebanyakan menjadi ‘Festival Malang Kuliner’ karena dominasi stan makanan yang menonjol, meskipun tujuannya baik sebagai wahana untuk mengenalkan makanan tradisional, akan tetapi proporsi stannya kurang berimbang akan lebih baik panitia penyelenggara lebih selektif terhadap stan yang mengisi FMK sehingga kesan komersial-bisnisnya tidak mencolok dan masih tetap menjaga kelestarian makanan trdisional.

Dress coat pengujung seharusnya panitia penyelenggara tegas terhadap pengunjung yang datang, hanya pengunjung yang menggunakan pakaian budaya tradisional saja yang boleh mengunjungi. Dengan aturan ketat semacam ini akan lebih membuat FMK semakin kuat nuasa masa lalunya dan upaya pelestarian budaya trdisional akan mewujud. Akan lebih baik panitia menyarankan bahwa pengujung disarankan untuk berjalan kaki atau menggunakan sepeda onthel sebagai alat transportasi untuk menuju arena FMK yang berada di jalan ijen. Himbaun ini berdampak cukup besar terhadap pengurangan polusi udara dan menekan laju global warming, selain manfaat ekologis juga menumbuhkembangkan solidaritas sosial yang kuat karena momen berjalan bersama dengan tetangga, handai tolan, karib, rekan kerja, keluarga sebagai momen yang langka dalam masyrakat perkotaan.

FMK tahun ini kehilangan ”ruh” elanvital utama sebagai sebuah festival budaya yang seharusnya membawa pesan moral bagi masyarakat untuk menghargai dan menghayati perjuangan masa lalu serta menumbuhkan kesadaran baru akan pentingnya meninjau kearifan pendahulu. Menumbuh kembangkan proses menghargai waktu yang mengantarkan masyarakat ini kedepan gerbang modernisasi, tetapi masyarakat tampaknya mulai melupakan keadaan perjuangan masa lalu. Hal ini bisa dilihat melalui apresiasi pengunjung yang rendah terhadap peristiwa sejarah yang coba dusung oleh panitia, pengunjung lebih banyak memposisikan dirinya sebagai ”turis asing yang mengunjungi negerinya sendiri”, tanpa adanya internalisasi sedikitpun terhadap kemegahan kerajaan Singasari, pembangunan masa lalu yang mempedulikan lingkungan melalui situs candi, seni pertunjukan yang tidak menghilangkan akar tradisi,misalnya, kethoprak, ludruk, wayang kulit, dll. Pengunjung seolah-olah merasakan bahwa peristiwa itu terjadi dengan bentangan waktu yang jauh dan tidak terjadi di ”hadapan mata” serta berlokasi jauh dinegeri antahbarantah. Mereka sekan tercerabut dari akar sosialnya yang mengakibatkan tidak berpijak pada kaki adat dan tradisi.

Padahal misi utama dari FMK kali ini yaitu menghadirkan kearifan masa lalu agar bisa diteruskan oleh orang modern masa kini. Ruh itu tidak mewujud dalam FMK kali ini. Alangkah baiknya FMK di desain dengan sebuah kekuatan pesan moral, memberikan kesadaran baru, serta perenungan (kontemplatif) yang mendalam bagi masyarakat kota Malang untuk terus menjaga budaya masa lalunya yang menyeret dan mengikis kota dingin lambat laun pudar ditengah arus modernisasi yang tidak bisa di bendung lagi. FMK tahun depan lebih membawa perubahan yang cukup signifikan dengan membawa pesan moral dan memberi ruang penyadaran bagi masyarakat perkotaan untuk lebih arif menyikapi budaya masa lalu. Semoga FMK kali ini menjadi sebuah pijakan untuk terus-menerus menjadi tungku pembakar untuk memberi penyadaran bagi masyarakat untuk selalu Djasmerah: jangan pernah meninggalkan sejarah. Wasalam.


* Ketua Studi Lingkar Budaya ” Akshara Bhumi Nuswantara”

Selengkapnya...