Selasa, 02 Desember 2008

Bung Karno dan Ahmadiyah

“Sejarah bangsa Indonesia tidak pernah bergerak maju”, mungkin kalimat inilah yang pas untuk menggambarkan kondisi bangsa ini yang terus berkutat pada masalah-masalah yang tak ada ujung pangkalnya. Sejarah bangsa ini terus berulang, misalnya, tentang Ahmadiyah. Bung Karno pernah menulis risalah pendek yang berjudul ” Tidak Percaya bahwa Mirza Gulam Ahmad adalah Nabi” yang terdapat dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I sebagai sebuah upaya yang di tempuh Bung Karno untuk memberi penjelasan tentang tuduhan bahwa Bung Karno telah mendirikan cabang Ahmadiyah di daerah Celebes dan menjadi propagandisnya. Artikel Bung Karno yang ditulis dalam masa pembuangan di Endeh Flores tertanggal 25 Nopember 1936 yang sampai sekarang masih relevan untuk kita hadirkan dalam konteks kekinian ditengah-tengah masyarakat yang asyik-masyuk tentang pro kontra Ahmadiyah. Melalui tulisan ini setidaknya bisa menyadarkan bangsa Indonesia dari jerat kesesatan berpikir sehingga tidak mudah untuk mengatakan ”sesat” namun, tanpa pernah mengkaji lebih dalam apa yang sebenarnya”disesatkan” itu.

Apresiasi BK terhadap Ahmadiyah

Bung Karno tidak sependapat dengan Ahmadiyah tentang prinsip kenabian yang “mengkramatkan” Mirza Gulam Ahmad sebagai seorang nabi dan sebagai seorang moedjadid (pembaharu). Kesimpulan BK tidak berdasarkan atas “kejumudan” dan ”ego keislaman” namun berdasarkan kajian yang mendalam atas buku-buku yang dikeluarkan oleh Ahmadiyah antara lain: Mohammad the prophet karya dari Mohamad Ali, Inleiding tot de studie van den Heiligen Qoer’an juga karya Mohamad Ali, Het evangelie van den daad karya Chawaja Kamaloedin, seorang mubalig Hindustan yang menjadi imam di London , De bronnen van het Christendom karya Chawaja Kamaloedin yang juga pernah berkunjung ke Jawa untuk mensyiarkan kebesaran Islam yang akhirnya menjadi cikal bakal Ahmadiyah di Indonesia dan Islamic Review yang banyak memuat artikel-artikel pemikiran keislaman yang bagus. Tidak ketinggalan BK juga mempelajari tafsir quran karya Mohamad Ali dengan apresiasi yang santun BK bertutur:

“Dan tafsir quran buatan Mohamad Ali, walaupun ada beberapa fatsal jang tidak saja setudjui, adalah banjak djuga menolong kepada penerangan bagi saja. Memang pada umumnja saja mempeladjari agama Islam itu tidak dari satu sumber sahadja, banjak sumber jang saja datangi dan saja minum airnja.”

Metode berpikir BK menggunakan nalar berpikir dialektis—usaha untuk mencari sintesa dari tesa dan antitesa--, hal ini nampak dilakukan BK dengan kecermatanya untuk mendalami buku-buku yang menjadi anti-tesa Ahmadiyah yakni buku-buku terbitan Muhamadiyah dan persatuan Islam serta buku-buku dari lawan Islam sendiri yang ditulis oleh para orientalis maupun orang non-muslim yang bersimpati terhadap Islam karya-karya Snouk Hurgronje, Arcken, dan Dozy Hartmann.

Hasil sintesis BK tentang Ahmadiyah tertuang dalam pernyataan yang brilian:

Dan mengenai Ahmadiyah, walupun beberapa fatsal didalam mereka punja visi saja tolak dengan jakin, toch pada umumnya ada mereka punja “features” jang saja setudjui: mereka punja rationalisme, mereka punja kelebaran penglihatan (broadmindedness), mereka punja modernisme, mereka punja hati-hati terhadap kepada hadits, mereka punja striven Quran sahadja dulu, mereka punya systematische aannemelijk making van den Islam”.


Lebih lanjut BK memberi apresiasi tentang Ahmadiyah:

Maka oleh karena itulah, walaupun ada beberapa pasal dari Ahmadiyah tidak saja setudjui dan malahan saja tolak, misalnja mereka punja ”pengeramatan” kepada Mirza Gulam Ahmad, dan mereka punja ketjintaan kepada imperialisme Inggeris, toch saja merasa wadjib berterima kasih atas faedah-faedah dan penerangan-penerangan jang telah saja dapatkan dari mereka punja tulisan-tulisan jang rationeel, modern, broadminded dan logis itu.”

BK tidak hanya mengutarakan ketidaksepehamannya terhadap Ahmadiyah khususnya tentang ihwal kenabian Mirza Gulam Ahmad namun juga memberi apresiasi kepada Ahmadiyah yang menerjemahkan Islam dengan bahasa yang rational, logis dan keluasan berpikirnya. Pada tahun 1953 melalui Departemen Kehakiman BK memberi ”restu” terhadap keberadaan Ahmadiyah. Mulai saat itu berbagai cabang mulai dibentuk diberbagai wilayah di Indonesia.

Kesantunan perbedaan pendapat diajarkan BK kepada bangsa Indonesia dalam kerangka negara kebangsaan (nation-state) yang disinari nilai-nilai luhur agama patut untuk disyiarkan keseluruh elemen bangsa ini. Artikulasi keislamaan Bukan kekerasan dan vandalisme namun, sebagai kesadaran personal akan ketundukan diri yang tercermin dalam perilaku keseharian yang mencerminkan penghayatan nilai-nilai keislaman. Semoga bangsa Indonesia bisa belajar dari kearifan dan kebijaksanaan bunga bangsa yang dinobatkan menjadi The Founding Fathers ini. Semoga bisa. Wasalam.


* Ketua Lingkar Studi ” Akshara Bhumi Nuswantara” dan Alumni Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, Malang.

0 komentar: