Selasa, 02 Desember 2008

TRADISI MEGENGAN DAN ULAMA

Umat islam di Indonesia khususnya masyarakat Islam Jawa mempunyai tradisi yang khas sebelum memasuki bulan Ramadan atau bisa disebut pra-kondisi Ramadan yang diisi berbagai kegiatan diantaranya: masyarakat berbondong-bondong menuju pesarean atau kuburan untuk melakukan ziarah sebagai ritus bakti untuk mengingat orang yang sudah meninggal dengan membawa sapu lidi dan bunga untuk di taburkan di pusara makam, .....

Umat islam di Indonesia khususnya masyarakat Islam Jawa mempunyai tradisi yang khas sebelum memasuki bulan Ramadan atau bisa disebut pra-kondisi Ramadan yang diisi berbagai kegiatan diantaranya: masyarakat berbondong-bondong menuju pesarean atau kuburan untuk melakukan ziarah sebagai ritus bakti untuk mengingat orang yang sudah meninggal dengan membawa sapu lidi dan bunga untuk di taburkan di pusara makam, melakukan sungkeman kedua orang tua atas segala dosa, mengucapkan selamat kepada sahabat dan handai tolan melalui SMS yang berisi kecerian memasuki bulan Ramadan atau pun ucapan saling memaafkan supaya dalam bulan Ramadan ini benar–benar mencapai lompatan spiritual menuju pencerahan. Selain kegiatan yang mempunyai hubungan dengan orang lain (haqul adami) ada juga kegiatan yang bersifat ritual personal (haqul allah) seperti mandi besar pada saat malam sebelum puasa sebagai pembersihan jiwa melalui pembersihan fisik. Selain itu pada malam hari setelah sholat tarwih digelarlah selametan megengan dan kirim doa leluhur yang telah meninggalkan dunia, acara ini digelar ditiap surau-surau, mushola-mushola dan masjid-masjid di kampung yang dipadati anak-anak kecil yang nakal dan ramai berebut nasi serta berebut menabuh kentongan dan bedug.


Tradisi selametan megengan ini sudah mendarah daging dalam masyarakat Jawa yang oleh orang yang baru “mendalami Islam” sering dicap syirik, bida’h dan tidak ada pernah ada rujukan hadist yang sahih dengan menunjukan rasa tidak simpati dan dangkal akan apresiasi agama dan budaya. Tulisan ini merupakan apresiasi terhadap budaya megengan yang mulai terkikis di masyarakat perkotaan yang disebabkan kesibukan orang kota yang mulai menikmati hidup serba instan dan silang pendapat yang tidak simpati terhadap budaya lokal atas dasar keagamaan.

Megengan secara etimologi berasal dari bahasa Jawa “megeng” yang berarti menahan, dalam tradisi lisan masyarakat pengguna bahasa Jawa (speech community) kata megeng selalu terkait dengan megeng nafas yang mempunyai makna “terasa berat, meskipun berat harus ditahan selayaknya orang menghirup nafas. Kata megeng juga sepadan dalam penggunaan kata Ramadan secara lughat yang berarti “imsak”, kata “imsak” dalam tradisi pesantren salaf yang biasa memaknai kitab dengan leksikal berbahasa Jawa, kata imsak diartikan dengan “nge’ker” atau menahan yang di dalamnya ada unsur pengikatan yang kuat dan kukuh. Dari kajian secara morfologis dari kata megeng hingga menjadi kata megengan yang ditambah sufiks (akhiran) –an diakhir kata mengandung arti proses yang terus menerus dan juga pembentukan kata benda.Dari kajian morfologis di atas kata megeng senafas dengan kata imsak, puasa dalam kacamata fikih diartikan proses menahan (megeng) dari yang membatalkan puasa seperti makan, minum dan hal-hal yang membangkitkan syahwat, tetapi bila di kaji lebih dalam penggunaan katamegeng, puasa tidak hanya menahan yang membatalkan secara dhohir (fisik; makan, minum dll), melainkan hal-hal yang lembut dan batiniah seperti lembutnya tarikan nafas yang keluar masuk hidung yang setiap hari kita hirup, harus juga kita tahan, bila kita jabarkan lebih luas puasa tidak hanya menahan hal-hal yang membatalkan puasa saja, tetapi juga menahan kebiasan-kebiasan setiap hari yang bersifat batiniah dan ukhrowi. Dalam kacamata ini puasa lebih bersifat latihan rasa yang mencakup dimensi batiniah, maka tidak heran dalam jarwa dhosok bahasa Jawa poso berarti “ngempet roso” ada juga yang mengartikan “ngeposke roso” yang mempunyai makna memberhentikan rasa. Dengan pemaknaan puasa Ramadan yang lebih dimaknai “olah rasa” yang bersifat batiniah melalui tradisi megengan ulama terdahulu mengajarkan kita untuk memaknai puasa Ramadan sebagai ritual yang sakral dengan cara menggelar tradisi megengan.

Bila kita telisik lebih jauh ulama-ulama salafus sholihin mempunyai visi jauh kedepan yang dikemas dalam tradisi megengan ini, puasa Ramadan tidak hanya dimaknai sebagai sebuah panggilan agama saja yang menganjurkan pemeluknya untuk menahan lapar, haus dan hal-hal yang bisa membangkitkan syahwat lebih daripada itu masyarakat mempunyai panggilan sosial dan budaya bahwa puasa tidak hanya ritual pribadi saja, selain itu juga mempunyai implikasi sosial. Pada saat ulama sekarang dengan bangga menggunakan istilah “transformasi agama; dari kesalehan individu menuju kesalehan sosial”, ulama terdahulu tanpa bahasa yang dakik-dakik sudah lari melampauinya menjadikan Ramadan sebagai sebuah fenomena budaya melalui tradisimegengan yang sudah diterima masyrakat. Dengan demikian tradisi megengan sebagai sebuah fenomena budaya di masyarakat dapat dilihat sebagai penjelmaan dari nilai ruhani Islam yang sudah melembaga dalam masyarakat menjadi ritus budaya. Wallahu ‘alam bishowab.

• penulis adalah alumni pesantren mahasiswa Al-hikam Malang dan alumni fakultas sastra universitas Negeri Malang.

0 komentar: