Selasa, 02 Desember 2008

Possesive Ramadan

Bulan Ramadan telah menghampiri perjalanan kehidupan religiusitas kita. disambut dengan riang gembira seakan-akan kita akan memasuki sebuah ruang yang akan bisa memelantingkan kita menuju tempat terindah disisi Allah atau dengan kata lain ingin menghadirkan suasana surgawi dalam bulan Ramadan. Televisi mendukung dengan sajian program yang berbau rohani hampir sebulan penuh, artis-artis ramai-ramai menunjukan kesalehan dengan menggunakan jilbab yang menjadi tanda kesadaran kesalehan sudah mewujud dalam diri mereka. Dai-dai dan ustad merayakan masa panennya karena aktivitas ceramahnya semakin padat, lingkungan-lingkungan yang tidak mendukung terciptanya nuansa kesalehan dalam Ramadan dibredel dengan semangat jihad yang menggebu-gebu dengan disisirnya tempat hiburan malam dan ditutupnya tempat remang-remang tanpa memikirkan nasib pekerjanya yang tidak mendapat pengahasilan di bulan Ramadan.

Dalam bulan ini seakan-akan rasa kesalehan begitu hadir meruyak dan mewujud dalam kosmologi sosial secara tiba-tiba. Semangat keislaman atau ghirah keislaman seakan-akan menjadi satu dalam gerak nafas sosial. Mengapa semangat keislaman begitu kentara dan menunjukan ke-”spartan”-annya dibulan Ramadan ini? Untuk menjawab ini secara kebetulan ada iklan rokok yang lagi gencar-gencarnya mempromosikan dengan ikon cewek posesivenya yang selalu mengontrol keberadaan pacarnya sebagai manifestasi rasa cinta yang ”berlebih” terhadap kekasihnya. Koinsidensi ini patut untuk menjadi permenungan umat Islam saat ini, mengapa dalam bulan Ramadan ini kita begitu posesive terhadap Allah? Dengan menunjukkan kesalehan dengan mengontrol perilaku-perilaku sosial yang tidak sesuai dengan aturan Islam dan menunjukkan bahwa dalam bulan ini kita menjadi saleh secara tiba-tiba serta ruang-ruang sosial kita desain sedemikian rupa untuk menunjukan rasa kepatuhan kita terhadap Allah lewat bulan Ramadan ini?

Umat Islam seakan menujukan bahwa kecintaan dan kesalehan terhadap Allah ditunjukkan dengan mengontrol syariat yang dititahkan Allah. Secara tidak langsung umat Islam ingin berlomba bahwa kamilah yang ”sangat” dan ”amat” patuh terhadap-MU. Semangat keagamaan yang berlebihan seperti ini patut untuk di dialogkan lebih arif lagi. Semangat keIslaman yang berlebihan cenderung jatuh pada sifat kearogansiaan, keaangkuhan, dan kecongkakan. Sifat seperti ini malah berkebalikan dari semangat Islam yang sebenarnya.


Puasa ajaran semua para Nabi

Puasa adalah sebuah lorong waktu yang berfungsi selayaknya mesin waktu yang menggodok manusia untuk kembali ke sifat insaniyahnya, sehingga sifat kebinatangan akan terkikis dan tertanggalkan dengan sendirinya. Untuk itulah puasa membawa pesan universal bukan hanya ”milik” umat Islam semata melainkan milik umat manusia. Bila kita kaji lebih dalam sandaran perintah puasa diambil dari ayat quran (Al-Baqarah:183): ”wahai orang yang beriman diwajibkanlah kamu sekalian untuk melakoni puasa sebagaimana umat-umat terdahulu telah melakoninya. Agar kalian semua menjadi manusia yang taqwa (kembali ke sifat insaniyahnya/sifat kamanungsannya). Kata ’umat terdahulu’ (min qablikum) yang mempunyai maksud sebelum wahyu keislaman diturunkan atau dengan kata lain sebelum ajaran Islam datang Lelakon puasa sudah ada dan menjadi tradisi yang sudah dilakoni oleh umat para nabi sebelum Nabi Muhamad. Puasa adalah sebuah metode untuk mengembalikan sifat insaniyah manusia yang semakin terkikis dengan berlimpahnya materi dan keangkaramurkaan nafsu yang menyeret manusia ke lembah nista.

Dengan demikian puasa bukan monopoli umat Islam saja hampir disetiap ajaran agama ada anjuran untuk melakoni puasa. Umat Islam seharusnya lebih bisa bersikap dewasa dalam menjalani puasa tanpa harus mengharapkan ”perlakuan istimewa”dengan menunjukan rasa kepemilikian yang berlebih bahwa hanya kitalah (baca: umat Islam) yang sangat mencintai dan menjalankan aturan-aturaNya dan hanya umat Islamlah yang berhak menjalani puasa ini, maka atmosfir yang tidak mendukung harus disingkirkan karena mengganggu ibadah puasa kita.

Posesive menunjukan kedewasaan cintanya belum matang, cintanya masih butuh pengakuan, cintanya belum tanpa pamrih dan masih bersyarat. Kita melaksanakan puasa tetapi harus ditunjukkan secara besar-besaran bahwa kita puasa sebagai tanda rasa cinta kita terhadap Allah. Perayaan yang berlebih menunjukkan kedangkalan umat Islam dalam beragama. Cinta yang dewasa tidak membutukan pengakuan dari manapun juga.Bukankah puasa mendidik kita untuk menyerahkan ”amal terindah” dengan cara hening tanpa kata-kata, hanya kitalah yang mendengar gemuruhnya lambung dan kerontanya dahaga. Wallahu a’lam bi showab.


* Ketua Studi Lingkar Budaya ”Akshara Bhumi Nuswantara” dan Alumni Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang.

0 komentar: