Selasa, 02 Desember 2008

Hilangnya “Ruh” FMK

Perhelatan budaya yang mengharu-biru masyarakat Malang telah berlalu, perhelatan budaya yang seakan meninabobokan masyarakat dengan pelbagai kesulitan sosial: dari kenaikan BBM, mahalnya harga sembako, pendidikan mahal seakan-akan lenyap hilang semuanya dengan adanya Festival Malang Kembali (FMK). Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya pengunjung yang mengujungi jalan Ijen dengan berduyun-duyun datang hingga rela berdesak-desakan hanya untuk melihat keadaan Malang Tempo Doeloe.

Puncak acara ini terjadi tepatnya pada hari sabtu malam minggu (24 Mei 2008) seluruh penjuru jalan macet karena dipenuhi ribuan sepeda motor yang parkir dan yang berlalulalang serta ratusan mobil memenuhi area jalan Ijen keadaan ini kontan memusingkan aparat kepolisian lalu lintas yang terpaksa melancarkan arus jalan.Padahal malamnya pemerintah baru saja mengumumkan kenaikan harga BBM yang sering diplesetkan bolak-balik mundhak (setiap kali naik) melalui jajaran menteri yang terkait dan berbagai rasionalisasi yang membenarkan kebijakan kenaikan BBM. Kenaikan BBM seolah-olah tidak menyurutkan niatan warga Malang untuk menghadiri festival budaya ini dan tidak mempengaruhi sedikitpun terhadap pola hidup hemat yang seharusnya digalakkan oleh warga Malang disaat kebutuhan semakin sulit.

Melalui tulisan ini saya akan melihat secara objektif dengan mengambil jarak dengan adanya Festival Malang Kembali (FMK) dan memberi apresiasi yang luar biasa terhadap upaya pelestarian budaya yang adiluhung serta selalu mengingatkan kota Malang akan sejarah masa lalunya yang diprakarsai oleh Pemkot Malang ini.

FMK yang sudah menjadi program kerja pemerintah kota Malang yang dilaksanakan setiap tahun bertujuan untuk melestarikan budaya dan mengingat sejarah masa lalu serta menarik wisatawan asing patut kita dukung. Namun, ada beberapa hal yang patut untuk diketengahkan ke khalayak dan pemangku kebijakan (stake holders) terhadap pelaksanaan FMK agar nantinya menjadi bahan evaluasi guna perbaikan FMK untuk tahun yang akan datang.

FMK seringkali diplesetkan oleh kebanyakan menjadi ‘Festival Malang Kuliner’ karena dominasi stan makanan yang menonjol, meskipun tujuannya baik sebagai wahana untuk mengenalkan makanan tradisional, akan tetapi proporsi stannya kurang berimbang akan lebih baik panitia penyelenggara lebih selektif terhadap stan yang mengisi FMK sehingga kesan komersial-bisnisnya tidak mencolok dan masih tetap menjaga kelestarian makanan trdisional.

Dress coat pengujung seharusnya panitia penyelenggara tegas terhadap pengunjung yang datang, hanya pengunjung yang menggunakan pakaian budaya tradisional saja yang boleh mengunjungi. Dengan aturan ketat semacam ini akan lebih membuat FMK semakin kuat nuasa masa lalunya dan upaya pelestarian budaya trdisional akan mewujud. Akan lebih baik panitia menyarankan bahwa pengujung disarankan untuk berjalan kaki atau menggunakan sepeda onthel sebagai alat transportasi untuk menuju arena FMK yang berada di jalan ijen. Himbaun ini berdampak cukup besar terhadap pengurangan polusi udara dan menekan laju global warming, selain manfaat ekologis juga menumbuhkembangkan solidaritas sosial yang kuat karena momen berjalan bersama dengan tetangga, handai tolan, karib, rekan kerja, keluarga sebagai momen yang langka dalam masyrakat perkotaan.

FMK tahun ini kehilangan ”ruh” elanvital utama sebagai sebuah festival budaya yang seharusnya membawa pesan moral bagi masyarakat untuk menghargai dan menghayati perjuangan masa lalu serta menumbuhkan kesadaran baru akan pentingnya meninjau kearifan pendahulu. Menumbuh kembangkan proses menghargai waktu yang mengantarkan masyarakat ini kedepan gerbang modernisasi, tetapi masyarakat tampaknya mulai melupakan keadaan perjuangan masa lalu. Hal ini bisa dilihat melalui apresiasi pengunjung yang rendah terhadap peristiwa sejarah yang coba dusung oleh panitia, pengunjung lebih banyak memposisikan dirinya sebagai ”turis asing yang mengunjungi negerinya sendiri”, tanpa adanya internalisasi sedikitpun terhadap kemegahan kerajaan Singasari, pembangunan masa lalu yang mempedulikan lingkungan melalui situs candi, seni pertunjukan yang tidak menghilangkan akar tradisi,misalnya, kethoprak, ludruk, wayang kulit, dll. Pengunjung seolah-olah merasakan bahwa peristiwa itu terjadi dengan bentangan waktu yang jauh dan tidak terjadi di ”hadapan mata” serta berlokasi jauh dinegeri antahbarantah. Mereka sekan tercerabut dari akar sosialnya yang mengakibatkan tidak berpijak pada kaki adat dan tradisi.

Padahal misi utama dari FMK kali ini yaitu menghadirkan kearifan masa lalu agar bisa diteruskan oleh orang modern masa kini. Ruh itu tidak mewujud dalam FMK kali ini. Alangkah baiknya FMK di desain dengan sebuah kekuatan pesan moral, memberikan kesadaran baru, serta perenungan (kontemplatif) yang mendalam bagi masyarakat kota Malang untuk terus menjaga budaya masa lalunya yang menyeret dan mengikis kota dingin lambat laun pudar ditengah arus modernisasi yang tidak bisa di bendung lagi. FMK tahun depan lebih membawa perubahan yang cukup signifikan dengan membawa pesan moral dan memberi ruang penyadaran bagi masyarakat perkotaan untuk lebih arif menyikapi budaya masa lalu. Semoga FMK kali ini menjadi sebuah pijakan untuk terus-menerus menjadi tungku pembakar untuk memberi penyadaran bagi masyarakat untuk selalu Djasmerah: jangan pernah meninggalkan sejarah. Wasalam.


* Ketua Studi Lingkar Budaya ” Akshara Bhumi Nuswantara”

0 komentar: