Selasa, 02 Desember 2008

Pendekatan Budaya dalam Kampanye Pilgub JATIM

Sebentar lagi masyarakat Jatim akan mempunyai gawe besar yakni pemilihan gubernur secara langsung. “Hajatan demokrasi” ini selayaknya kita sambut dengan sayuk sak eko proyo dan rasa mamayu bagyo. Sudah bermunculan nama-nama calon gubernur Jatim beserta partai pengusungnya yang akan meramaikan bursa pertandingan gubernur diantaranya: Soenarjo dan Ali Maschan Moesa (Salam) yang diusung oleh partai Golkar, Soekarwo dan Saifulah Yusuf (Karsa) yang diusung oleh Partai Amanat Nasional dan Partai Demokrat, Soetjipto dan Ridwan Hisyam (SR) yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono(Kaji) yang diusung oleh Partai Pembangunan Nasional (PPP) serta Achmadi dan Suhartono yang diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Pilgub Jatim kali akan seru dan mengundang perhatian nasional karena diikuti oleh “punggawa-punggawa politik” yang pernah berkiprah dilevel nasional hingga merelakan dirinya untuk ngluruk kebawah (baca: Jatim) sebut saja misalnya Saifulah Yusuf (Gus Ipul) mantan Menteri Percepatan Desa Tertinggal, Khofifah Indar Parawansa mantan ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR RI dan juga ketua umum Muslimat pusat, kalaupun tidak pernah berkiprah dalam level nasional setidaknya mereka mempunyai kapasitas level nasional, misalnya Ali Maschan Moesa (Ketua umum PWNU Jatim)yang digadang-gadang akan menggantikan K.H. Hasyim Muzadi sebagai ketua umum PBNU. Pilgub Jatim menjadi “magnet politik” yang menyedot seluruh energi nasional untuk memaksa ikut andil dalam “kontestasi Pilgub Jatim” sampai Gus Dur sendiri rela ngantor di Surabaya untuk memenangkan Achmadi (Kompas,20/2 2008) sebagai Gubernur. Para pengamat politik memprediksi pilgub Jatim akan lebih menentukan perjalanan politik nasional daripada pemilihan gubernur DKI, karena Jatim merupakan barometer pertarungan nasional dan hasil Pilgub Jatim akan menentukan “arah angin” dan konfigurasi politik PEMILU 2009. PilgubJatim juga diperkirakan bisa berlangsung sampai dua kali putaran (Kompas, 9/4/2008). Dengan demikian promosi calon dan visi-misinya menjadi keharusan untuk dikemas sebaik mungkin dalam ajang kampanye nanti. Kebanyakan tim sukses calon gubernur dan think tanknya mengabaikan metode kampanye tetapi lebih mengedepankan tujuan lekas tersampainya figur calon tanpa adanya kajian yang mendalam sehingga tidak ditemukanlah kesesuaian pendekatan dengan sosio-budaya masyarakat setempat. Padahal dengan adanya kesesuaian pendekatan dengan sosio-budaya mempunyai implikasi maksud (message) dengan mudah tersampaikan oleh khalayak. Dalam risalah pendek ini, penulis akan memberikan gambaran perspektif pentingnya pendekatan budaya (cultural approach) dalam kampanye pilgub Jatim

Jatim sebagai geokultural

M. Said Mas’ud dalam artikelnya yang berjudul: Pilgub Jatim dan Empu gandring Abad 21 melihat Jawa Timur sebagai sebuah wilayah sosiologis—bukan wilayah administrasi—yang lahir secara evolutif, terintegrasi dalam perjalanan sejarah yang panjang, yang kemudian menemukan bentuk sebutan komunalnya yang disebut imagined community. Elemen-elemen ini terbentuk dari pergulatan panjang yang menyangkut cara berpikir, cara bertindak, cara mendekati masalah sampai cara menyelesaikannya secara bersama sebut saja fenomena itu dengan gaya timuran. Jawa Timur tidak bisa dilihat dari batasan administrasi geografi wilayah saja, melainkan dari rumpun budaya daerah yang menjadi perekat kuat. Misalnya: Pasuruan, Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Lumajang Utara tidak sebagai wilayah administarsi yang bediri secara otonom melainkan sebagai sebuh rumpun budaya yang jamak disebut daerah “Tapal Kuda” nama ini merupakan istilah geopolitik dan geososial budaya untuk menyebut enam daerah tersebut karena bila ditarik dengan garis penghubung keenam daerah itu akan membentuk lekukan yang serupa dengan “tapal kuda” atau kasut besi kaki kuda (ladam) (Kusnadi, 2001).

Berbeda lagi dengan daerah Malang Selatan yang berdekatan dengan kabupaten Blitar yang dipisahkan oleh waduk karangkates atau bendungan sutami, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Pacitan, Kediri-Pare yang tidak berhimpitan dengan Jombang, Nganjuk, Madiun, Ponorogo, Magetan, Ngawi yang jamak disebut daerah metaraman atau kulonan yang ditandai dengan penggunaan dialek jawa yang kental (medok) dan sistem kekerabatan yang kuat mengikat hubungan antar masyarakatnya. Dalam kajian geografi dialek (lokabasa) pun ada temuan yang menarik ternyata untuk aksen dialek Jawa “kon” (kamu) dan “kowe (kamu) dipisahkan oleh waduk karangkates yang memisahkan kabupaten Malang dan kabupaten Blitar. Dalam satu daerah di Jawa Timur bisa memungkinkan adanya dua budaya yang ditandai dengan aksen dialek yang berbeda, daerah Kediri-Pare, misalnya ada yang menggunakan dialek jawa kulonan yang medok dan ada juga yang menggunakan dialek suroboyoan.

Gambaran diatas mencoba memberi gambaran begitu banyaknya ragam budaya yang berkembang di Jawa Timur, belum lagi daerah pesisir pantai utara yang mempunyai kekhasan budaya yang menjadi ciri identik masyarakatnya. Untuk itu sebagai sebuah keharusan adanya pemetaan yang utuh tentang ragam budaya yang ada di Jawa Timur. Dari hasil temuan itu akan dipilah pendekatan yang sesuai dengan sosio-budaya masyarakatnya. Strategi kampanyepun harus berdasarkan kajian budaya, kalau mengabaikan temuan “korpus budaya” yang akurat strategi kampanye malah kontra produktif dan menjadi bumerang bagi calon.

Hasil jajak pendapat Kompas yang dilansir pada (5/4/2008) menyebutkan bahwa pasangan “Salam” lebih populer 46 persen, “Karsa” memporoleh 37,5 persen sedangkan pasangan Soetjipto-Ridwan Hisjam (SR) memperoleh 15,6 persen. Yang menjadi pertanyaan mengapa pasangan Salam lebih populer? Kalau dilihat dari pemasangan spanduk dan baliho belum bisa mengalahkan “semaraknya” pasangan Karsa, sedangkan pasangan Salam paling sedikit dari “semarak” pemasangan baliho dan spanduk dibanding pasangan calon manapun. Disini penulis mempunyai asumsi bahwa Soenarjo bisa lebih populer dibandingkan calon lain karena aktivitas Soenarjo sebagai seorang dalang Wayang Kulit yang sering menghiasi layar TV sebelum hiruk pikuk pilgub dimulai. Masyarakat Jatim yang dipelosok desa dan kampung tidak pernah mengenal Soenarjo sebagai wakil Gubernur Jatim, melainkan seorang dalang yang pandai nembang, suluk dan jantur. Sebagaiamna hasil penelitian Victoria M. Clara van Groenendael, seorang antropolog Belanda yang berjudul Er zit een dalang achter de wayang, yang pada tahun 1987 telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi ‘Dalang dibalik wayang’ bahwa dalam pandangan masyarakat Jawa tradisional dalang merupakan guru yang harus ditiru (baca: dicontoh) dan menjadi panutan tingkah lakunya (Soedarsono,1999).Disinilah peran penting pendekatan budaya yang bisa mengalahkan kerja mesin politik parpol. Modal Soenarjo dibanding calon lain cukup besar karena “investasi budaya” Soenarjo dengan mengambil peran sebagai seorang budayawan yang terjun praktis dilapangan sekaligus seorang wakil gubernur, perpaduan dua profesi ini akan mempunyai implikasi politik yang memikat masyarakat.

Penguasaan Ragam Dialek

Selain itu ragam dialek menjadi unsur yang tidak bisa diabaikan, banyaknya ragam dialek yang berkembang di Jatim mempunyai andil yang besar bagi calon yang menguasi ragam dialek. Dialek tersebut sudah terlembaga menjadi sosiolek—varian bahasa yang disebabkan perbedaan kelompok sosial tertentu dalam masyarakat—yang sudah menjadi ciri khas dialek masyarakat setempat, sedikitnya calon gubernur Jatim menguasai dialek Madura, Suroboyoan, kulonan, dan osing penguasaan ragam dialek yang mumpuni dan lancar akan memberi andil yang cukup besar untuk mendulang suara. Masyarakat akan tersentuh dan bisa memahami maksud hati calon melalui penyampaian visi dan misi apabila menggunakan bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat, lebih khusus lagi adalah dialek yang mereka gunakan.

Semiotika Nama

Kalau Shakespeare pernah bertanya apalah arti sebuah nama?, Nama dalam kampanye sangat berperan penting dalam pencitraan dan mencerminkan “citra diri” dan “perlambang diri” serta “ikon” yang menjadi parameter apakah nama calon memasyarakat dan dikenal publik apakah tidak. Masih teringat sampai sekarang pengalaman Pemilu 2004, Susilo Bambang Yudhoyono disingkat dengan populer dengan “SBY” yang sampai sekarang masih menjadi ikon yang kuat bagi diri pak presiden. Di akui maupun tidak keberhasilan tim sukses pak presiden karena ide kreatif menyingkat dan memendekkan nama sehingga mudah diingat. Sapaan nama selalu membawa rasa lebih dekat dan akrab yang mengandung arti kedekatan secara emosional, dalam kasus ini kalangan warga PDI-P lebih sering menyebut “Mbak Mega” daripada nama lengkapnya Ibu Megawati Soekarno Putri.Ide kreatif harus selalu digali untuk memasyarakatkan sebuah nama, sapaan dan arti nama yang berimplikasi pada citra diri.

Dari beberapa nama calon gubernur, tampaknya Soekarwo yang punya ikon sapaan dan sebutan yang memasyarakat yakni dengan panggilan “Pakde Karwo”. Sampai menjadi ikon dan nama produk makanan yang akrab dan memasyarkat. Masyarakat Jatim yang dipelosok desa tampaknya belum bisa mengaksentuasikan dan melafalkan nama dari bahasa arab dengan lancar, misalnya saja masyarakat tidak pernah mengenal Abdurahman wahid, tetapi lebih mengenal dengan Gus Dur ataupun Gus Solah dari nama Solahudin Wahid. Bahasa Arab mempunyai kesan berat untuk diaksentuasikan dalam bahasa sehari-hari. Misalnya nama calon gubernur “Khofifah “secara aksentuasi fonologis berat dan sulit untuk dilafalkan bagi masyarakat yang dipelosok, alangkah lebih baik dipopulerkan dengan nama yang mudah diingat dan ringan untuk diucapkan, misalnya saja “Mbak Ifah”, atau dengan memendekkan nama “KIP kepanjangan Khofifah Indar Parawansa” dengan jargon “Bu KIP yang selalu Sip”. Persamaan bunyi akhir selalu menarik untuk diperhatikan karena mempunyai efek keterpaduan dan keharmonisan serta keringanan pengucapan yang membawa dampak psikologis pemilih.

Nama yang berasal dari bahasa Jawa sangar populer di masyarakat, dalam hal ini Soenarjo, Soekarwo dan Sutjipto mempunyai peluang besar untuk popular dari sisi nama, karena telinga masyarakat sudah sering mendengar ketiga nama itu dan banyak sekali ketiga nama itu ditemukan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat karena banyak sekali masyarakat yang mempunyai kemiripan nama dengan ketiga nama tadi.

Dari paparan sekelumit tentang pendekatan budaya dalam kampanye pilgub Jatim bahwa selama ini pendekatan budaya seringkali diabaikan oleh tim sukses, untuk itu Jatim yang terdiri dari ragam budaya yang kompleks sudah selayaknya tim sukses mengkaji dan memetakan dengan detail peta geokultural Jatim, sehingga bisa menentukan pendekatan budaya yang tepat. Wasalam. Wallahu’alam bishowab.


* Ketua Lingkar Studi Sosial dan Budaya “Akshara Bhumi Nuswantara” dan mahasiswa program pascsarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.


0 komentar: