Selasa, 02 Desember 2008

Memaknai kembali “Malam Seribu Bulan”

Tak terasa bulan Ramadan akan meninggalkan kita semua. Di penghujung Ramadan ini umat Islah tengah tersibukkan diri dengan ritual keagamaan untuk menyambut malam Lailatul Qadr atau malam seribu bulan yang ”konon” akan turun di penghujung akhir bulan Ramadan. Berbagai aktivitas tambahan digelar khusus untuk meraih malam seribu bulan ini dari i’tikaf (berdiam diri di masjid), sholat lail (sholat tahjud) berjamaah, ziarah makam-makam bertuah hingga melakukan pengasingan diri dengan melakukan wiridan ditempat-tempat sepi. Malam Lailatul Qadr menjadi selayaknya gadis pinangan yang cantik yang direbutkan oleh segenap pemuda desa, sehingga menjadikan sayembara digelar untuk mendapatkannya.

Malam Lilatul Qadr sering dimaknai selayaknya materi yang bisa diraih (To reached) sehingga mengakibatkan perlombaan dan ajang kontestasi untuk meraihnya. Bukankah malam Lailatul Qadr merupakan hal yang pinaringan (given) ”dari atas” bukan selayaknya materi yang diraih dan diperebutkan? Malam Lailatul Qadr lebih dekat dengan makna ”kunjungan” atau sedang melakukakan ”kunjungan”. Selayaknya kunjungan dia akan menyinggahi dan berkunjung kepada orang yang memang layak untuk dikunjungi, sehingga yang bisa dilakukan adalah menyiapkan diri atau mengkondisikan diri untuk layak dikunjungi.

Memaknai surat Al-qadr

Turunnya malam seribu bulan didasarkan dari interpretasi surat ”Al-qadr” yang memberi informasi bahwa malam seribu bulan akan turun. Secara etimologi al-qadr dimaknai ”segumpal darah” dan secara leksikal ”lailatul Qadr” adalah malam kemuliaan. Deskripsi malam Lailatul Qadr suatu malam yang sebanding dengan keutamaan seribu bulan (khoirun min alfi syhr) yang didalamnya malaikat-malaikat turun untuk memuliakan malam itu (tanazalul malaikatu wa ruhu fiha) untuk memberi keselamatan (salamun) hingga terbinya fajar (hatta matlail fajr).

Puasa dan malam seribu bulan adalah satu keterikatan yang manunggal artinya tidak akan datang ”malam seribu bulan” itu manakala tidak ada kualitas puasa yang menunjang hadirnya, orang berpuasa dengan ”penuh kesadaran” akan ada perubahan pola energi dalam dirinya secara alamiah, pelaksanaan puasa secara kolektif akan menciptakan medan magnet yang cukup besar yang bisa menarik benda yang kuat sekalipun yang dianalogkan dengan turunnya malaikat karena ada daya tarik magnetik yang kuat dibumi dan ini tidak akan terjadi tanpa ada munculnya ”fajar keisyafan rohani” yang dinarasikan dengan ’matlail fajr’. Peristiwa agung terbitnya fajar keisyafan rohani manusia ini sebanding dengan seribu bulan dalam ”satu masa kehidupan manusia” yang didalamnya manusia itu mengalami transformasi diri, seakan terlahir kembali (rebirth), maka ada hadis yang mengatakan ”kal waladathu umuhu”, seperti terlahir kembali dari rahim ibu, untuk menujukkan pahala bagi orang yang melakukan puasa.

Evaluasi Diri

Pengkondisian diri dengan melakukan puasa dengan penuh kesadaraan akan menjadikan manusia sadar akan jati dirinya sehingga yang perlu dilakukan di penghujung Ramadan ini adalah melakukan evaluasi diri terhadap kualitas puasa kita sudah dengan kesadaran atau hanya sekedar memenuhi keawajiban semata. Manakala pusa kita dijalani dengan kesadaran dan memunculkan keisyafan rohani, maka sang dewi seribu bulan akan berkunjung dan bersinggah dihati kita untuk mengajak kita untuk memasuki ”alam keberadaan diri” yang tersisa hanya hening ditengah malam. Pagi harinya kita akan merasa terlahir kembali mempuyai visi hidup baru, kepekaan, dan kewaskitaan.

Malam seribu bulan adalah masa transformasi diri untuk menuju esensi dari eksistensi, kehadirannya murni alamiah dan penuh dengan nur ilahiah, tidak bisa dipaksakan atau dijangkau dengan nalar logika yang perlu dipersiapkan hanyalah pembersihan diri dan keisyafan secara total.


* Ketua Studi Lingkar Budaya ”Akshara Bhumi Nuswantara” dan Alumni Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang.




0 komentar: