Selasa, 02 Desember 2008

Pudarnya Tungku Peradaban

Minggu-minggu ini selain banyak orang mamayu bagyo menyambut datangnya bulan suci Ramadan juga banyak orang yang merayakan keberhasilan putera-puterinya dalam memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dengan tingginya harapan akan masa depan anak yang lebih baik, maka segenap pengorbanan dicurahkan untuk pendidikan putera-puterinya dengan mengikuti serangkain program yang digelar oleh pemerintah melalui PSB Online dan yang akan memasuki perguruan tinggi dengan mengikuti seleksi UMB dan SNMPTN maupun jalur tes sendiri (swadaya).Mereka (baca: orang tua) sadar bahwa melalui pendidikan akan bisa memperbaiki kehidupan putera-puterinya di masa mendatang baik secara ekonomi, budaya maupun meningkatnya status sosial.Begitu besar harapan masyarakat terhadap lembaga pendidikan, mereka berlomba-lomba untuk bisa menitipkan masa depan yang gemilang untuk putera-puterinya ditengah himpitan hidup yang semakin tak bendung lagi.

Tulisan ini merupakan refleksi sederhana atas fenomena masyarakat kita yang ”terlalu” berharap lebih terhadap lembaga pendidikan terutama perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, untuk itu perlunya melihat pergeseran paradigma yang berlangsung didalam lembaga pendidikan ini. Kampus yang konon dulu pernah menjadi ikon-ikon lokomotif peradaban serta memosisikan dirinya sebagai ”tungku peradaban” yang menggodok insan cendikia, sarjana yang sujana, ilmuwan yang berbudi pekerti luhur dan masih banyak lagi jubah-jubah kebesaran yang disandangaya sehingga terlalu berat untuk dilakoni. Saat ini jubah-jubah kebesaran itu perlu ditanyakan ulang apakah masih layak untuk disandang?

Komersialisasi Pendidikan

Kebijakan pemeritah yang harus memaksa perguruan tinggi untuk mencari sumber dana sendiri atau lebih dikenal dengan kebijakan privatisasi pendidikan melalui kebijakan BHP atau BLU membuat kalangan petinggi perguruan tinggi kelabakan untuk memutar otak bagaimana lembaganya bisa survive ditengah-tengah pemangkasan subsidi. Perguruan Tinggi juga diberi kewenangan untuk mencari penghasilan tambahan untuk itu jalan yang mudah ditempuh adalah dengan menaikkan biaya pendidikan, secara otomatis kebijakan ini membawa konsekuensi logis yakni mengedepankan terpenuhinya kebutuhan anggaran rumah tangga kampusnya dengan cara menurunkan standar mutu mahasiswa yang masuk. Sudah jamak lumrah kita temui banyak kampus yang terang-terangan mematok harga tinggi untuk jurusan-jurusan tertentu supaya dapur kampusnya tetap mengepul. Kampus menjadi sebuah ajang transaksi jual-beli selayaknya pasar. Disinilah kritik Bourdieu relevan untuk diketengahkan bahwa sekolah menjadi lembaga bersemainya kesenjangan sosial karena hanya kelas sosial atas yang bisa memasukinya dan didukung habitus yang mendukung untuk terwujudnya pelanggengan kelas elite. Kampus yang seharusnya bersih dari tangan-tangan modal dan menjadi ”benteng moralitas” dalam menyuarakan nilai-nilai luhur yang adiluhung sudah terkooptasi oleh angkaramurka pemilik modal.

Ideologi uang berkuasa dengan keperkasaan nominalnya mampu meredupkan tungku yang pernah menyalakan kayu bakar untuk menggodok cerdik cendekia, sekarang tungku itu telah redup tidak bisa menyala terang lagi terguyur oleh kekuatan dan keperkasaan uang. Kampus-kampus ternama di negeri ini pernah menjadi kawah candradimukanya sarjana yang cerdik cendekia, begitu bangganya dulu orang bisa menjadi mahasiswa dikampus ternama karena mereka pastilah orang pinilih yang memiliki kepandaian dan kecerdasan di atas rata-rata, meskipun dari latarbelakang orang yang tidak berada dan dari pelosok desa serta penjuru kampung manapun. Namun, kampus ternama itu sekarang bercokolnya orang-orang yang memiliki modal, meskipun dengan kecerdasan rendahpun tidak soal yang penting mampu membayar biaya perkuliahan, maka wajarlah bila hari ini lingkungan akademik tidak lagi tercipta di ruang yang dihuni oleh para akademis. Toko-toko buku dan ruang-ruang diskusi di kota-kota yang menjadi pusat belajar sepi pengunjung yang notabene banyak dihuni mahasiswa. Menjamurnya cafe, tempat hiburan malam, tempat bersolek menjadi ramai dikunjungi mahasiswa menjadi hal yang paradok di tengah-tengah kota yang menyandang sebutan ”Kota Pelajar”. Akankah kita menaruh harapan ”lebih”lagi terhadap tungku peradaban ini? Semoga lambat laun tungku peradaban tetap menyala seperti sediakala yang bisa menghasilkan sarjana yang sujana dan memberikan kontribusi terhadap kesemrawutan negara kita saat ini, Semoga.Wallahu a’lam bi showab.


* Ketua Studi Lingkar Budaya ” Akshara Bhumi Nuswantara”


1 komentar:

kaum kusam mengatakan...

ruang sangat sederhana sekali kang wahyu