Sabtu, 06 Juni 2009

MENJERNIHKAN MAKNA PEMILU

Menjernihkan Makna Pemilu

Wahyu Widodo*

Sebentar lagi warga negara Indonesia akan merayakan hajatan demokrasi pemilihan presiden secara langsung pada bulan Juli nanti, sebagai warga negara yang melek mata batinnya dan mempunyai kepekaan pancaindranya pastilah mempunyai perenungan dan pemikiran yang mendalam terhadap fenomena kebangsaan akhir-akhir ini.




Sebentar lagi warga negara Indonesia akan merayakan hajatan demokrasi pemilihan presiden secara langsung pada bulan Juli nanti, sebagai warga negara yang melek mata batinnya dan mempunyai kepekaan pancaindranya pastilah mempunyai perenungan dan pemikiran yang mendalam terhadap fenomena kebangsaan akhir-akhir ini.

Pemilu tidak hanya bermakna pergantian pemimpin yang mengandalkan kekuatan mantra orasi dan dansa-dansi dalam kuil yang bernama televisi, topeng kebijaksanaan yang dikemas dalam tata bahasa yang runtut dan sistemik atas nama ’citra diri’ akan tanggal dalam pandangan kepolosan dan keluguan sorot mata petani yang akrab dengan penderitaan. Pemilu bukan hanya kumpulan angka-angka dalam hitung cepat yang di adakan lembaga-lembaga survey, Pemilu adalah amanat batin warga negara Indonesia yang sekarang didangkalkan maknanya dan seringkali di atas namakan ”rakyat”.


Pemilu adalah pancaran batin rakyat Indonesia yang harus terejawantahkan dalam pertarungan darma satriya dan tidak bertujuan untuk kalah dan menang apalagi meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala macam jalan.

Pemilu kali ini sudah kehilangan spirit dasar dan sudah menanggalkan elan vital utama sebagai panggilan Sang satriya-pinandita untuk menegakkan darma dalam perang yang menjujung tinggi pranata dan susila. Pemilu sekarang layaknya perang untuk memenuhi prasyarat belaka yang sudah ditentukan hasil akhirnya, skor sudah jadi sebelum bertanding. Pesta poranya angkaramurka kekuasaan yang diberi makna tinggi dalam masyarakat.

Amanat Batin
Pemilu menurut hemat saya akan sesuai bila di artikulasikan sebagai amanat batin yang harus diemban oleh putra-putri bangsa terbaik yang merasakan denyut nadi penderitaan bangsa dan negarannya yang akhirnya terpanggil untuk menunaikan panggilan dalam medan perang. Pemilu kali ini hanya sebuah seremonial lima tahunan yang hanya di ikuti oleh segelintir orang yang mencari keuntungan dan keberuntungan melalui pemilu. Seyogyanya kandidat capres dan cawapres mawas diri dan mawas hati sudahkan selama ini mendarmabaktikan dirinya demi kepentingan sesama tanpa pandang bulu? Ataukah sudah menakar antara ’apa yang diperbuat’ sebanding dengan ’apa yang diperolehnya’? kalau hasil hitungnya masih sebanding dan pas perlu dipertanyakan sekali lagi ’niat pencapresannya’. Sebagai pemimpin yang menunaikan jalan darma tidak memperhitungkan untung rugi, kalah dan menang, serta tidak menggunakan logika dagang dalam karya dan perjuanggannya. Lebih lebih berpikir mengkurskan setiap keringat yang dikeluarkan dengan kurs rupiah. Banyak orang meraup keuntungan melalui pemilu yang memberi makna pemilu layaknya perdagangan dalam pasar. Di tengah hiruk pikuk keruwetan pemilu senandung Sri Krishna dalam Bhagavad Gita perlu kita dengar: Kau tidak berperang untuk memperebutkan kekuasaan: kau berperang demi keadilan, untuk menegakkan kebajikan. Janganlah kau melemah di saat yang menentukan ini. Bangkitlah demi bangsa, negeri dan panggilan Ibu Pertiwi.

Berakhirnya Era Sun Tzu

Strategi Sun Tzu dalam bukunya yang mashur, The Art of War, yang acapkali menjadi rujukan dalam menyusun strategi pemenangan tim sukses perlu untuk di kaji ulang. Sun Tzu adalah simbol manusia primordial yang dibesarkan dalam tata aturan fight or flight sebagai bentuk ekspresi ketakutan yang melahirkan segerombolan brigade dan front-front para penakut yang di kemas rapi dalam balutan strategi. Strategi Sun Tzu terbukti gagal dalam menciptakan perdamaian dunia yang hakiki karena perdamaian hasil kompromi, penaklukan dan penundukan hanya akan membawa peperangan lebih lanjut.

Dalam dunia bisnis strategi Sun Tzu mulai di tinggalkan sebagaimana disimpulkan oleh Business week edisi Indonesia 15-22 November 2006:
Zaman telah berubah. Para eksekutif bisnis kini meninggalkan ajaran seni perang Sun Tzu dan beralih mengikuti petunjuk Bhagavad Gita yang penuh kedamaian. Era ketika Gordon Gekko, tokoh dalam film Wall Street keluaran 1987, dengan bangga mengutip Sun Tzu telah pudar. Bhagavad Gita mulai menggeser posisi The Art of War sebagai referensi manajemen.(tHE GITA OF MANGEMENT)

Senandung Sri Krishna dalam Bhagavad Gita mulai menjadi paradigma baru untuk menciptakan peradaban yang lebih bersusila dalam dunia politik, sebuah senandung yang membakar Bung Karno untuk terus berjuang dalam memerdekakan bangsanya, senandung yang menguatkan Bung Karno dalam jeruji penjara sukamiskin yang akhirnya menggetarkan jiwanya dalam pledoi yang bersejarah, Indonesia Menggugat: Ketahuilah senjata tiada menyinggung hidup; api tiada membakar, tiada air membahi; tiada angus oleh angin yang panas. Tiada tertembusi; tiada terserang, tiada terpijak dan merdeka; kekal abadi dimana-mana, tetap tegak; tiada nampak, tiada terucapkan, tiada terangkum oleh kata, pikiran senantiasa pribadi tetap begitulah disebut Djiwa (hal 114)

Sudah saatnya pemilu kali ini dijernihkan maknanya kembali diruwat kembali bukan pesta poranya perang ego kekuasaan, tetapi perangnya para satriya demi tegaknya kebajikan yang tidak memperhitungkan menang dan kalah, yang menjunjung tinggi pranata dan susila. Dengan perubahan paradigma ini semoga hasil pemilu akan membawa perubahan bagi sesama. Semoga semua makhluk bahagia. Namaste, wasallam.

* Penempuh Jalan Hening Diri. www. wahyuheningdiri.blogspot.com




Selengkapnya...